Berani Menua dalam Bad Boys for Life

mar • Friday, 17 Jan 2020 - 08:23 WIB

Genre: Action, komedi
Sutradara: Adil & Bilall
Pemeran: Will Smith, Martin Lawrence, Vanessa Hudgens
Durasi: 2 jam
Distributor: Sony Pictures Indonesia
Tanggal rilis di bioskop Indonesia: 17 Januari 2020 

Mobil sport Porsche 992-Generation (VIN number 001) ngebut di jalanan Miami. Mike Lowrey dan Marc Burnett sedang terburu-buru mengejar sesuatu. Mike mengemudi dengan sangat mahir, sedangkan Marc dag dig dug berteriak-teriak sebagai navigator yang panik. Akhirnya, mereka tiba di tempat sejuk dan tenang. Tak ada musuh yang berusaha menghalangi. Keduanya tiba di rumah sakit, untuk menyaksikan cucu baru Marc. Ya, "Bad Boys for Life" secara terus terang menampilkan periode lanjut polisi jagoannya. Marc tak kuat menahan haru menggendong bayi, Mike tak tahan melihat sahabatnya terisak.

25 tahun setelah Bad Boys (1995), 17 tahun setelah Bad Boys II (2003), detektif Miami: Mike Lowrey (Will Smith) dan Marcus Burnett (Martin Lawrence) kembali beraksi tanpa menyembunyikan keterbatasan karena termakan usia alamiah. Mereka berani tampil menua, menerima keadaan yang tak bisa dilawan, tetapi tetap bisa 'cool' dan bersenang-senang seperti seperempat abad lalu. 

Tak perlu kuatir jika Anda sekilas mengenal atau hanya pernah mendengarnya. Edisi terakhir ini akan membuat penonton baru tetap memahami jalannya cerita dan langsung menyukai cara Mike dan Marcus dalam bekerja mengungkap kejahatan. Sementara penggemar setia bisa bernostalgia, sekaligus melanjutkan keseruan dan melebarkan segala kemungkinan dalam mengikuti laga-komedi ini. 

Aktor Will Smith menyebut duet detektif ini sebenarnya sangat bertolak belakang dalam segala hal, tetapi karena itulah mereka bisa sangat cocok bersinergi. Sementara pemeran utama yang juga komedian Martin Lawrence mengatakan, elemen yin yang dalam Mike-Marc-lah yang mempersatukan keduanya.

Mempertahankan 'chemistry' humoris Will dan Martin, setting keriuhan Miami, dan suasana pesta 90-an sampai awal 2000-an, tokoh Mike-Marc berupaya menyelidiki kejahatan narkotika, yang menjadi spesialisasinya. Namun, keduanya memiliki tantangan baru. Mereka menghadapi penjahat yang makin brutal, berjiwa muda, dan bermotif berbeda dibanding kasus biasanya. 

Konflik lainnya datang dari Mike dan Marc sendiri. Mereka bertumbuh dewasa. Marc bahkan bersikukuh untuk menjalani masa purnabakti. Kehidupannya melambat, seiring perannya sebagai opa yang tak bisa lepas dari kacamatanya. Sedangkan Mike, yang masih lajang dengan gaya hidup mewahnya yakin, mereka masih mampu membekuk kartel dengan cara khas: menendang pintu seperti biasa. 

Perjalanan terakhir ini makin menarik saat Mike dan Marc berinteraksi dengan tim elit penegak hukum kekinian, yang lebih tanggap teknologi, taat prosedur investigasi, dan tentu berdarah jauh lebih muda. Mereka yang terbiasa langsung menggerebek para tersangka, kini harus bersikap lebih realistis, relevan, dan belajar lebih sabar. Ironisnya, pelajaran tersebut datang dari generasi penerusnya sendiri. Bad boys terpaksa menjadi good man.

Pergulatan pun muncul. Pertentangan hadir satu per satu. Berbagai pertanyaan harus dijawab Mike dan Marc, apakah mereka bisa tetap kompak sehidup semati seperti slogan: we ride together, die together? 

Bagaimana mereka beradaptasi sebagai polisi senior dengan keadaan masa kini yang mengusung gadget canggih dan menjunjung humanisme? 

Dan yang terpenting, siapa lawan mereka sesungguhnya? Kenapa kejahatan narkotika yang biasa mereka hadapi, menjelma menjadi misi bunuh diri dengan memakan banyak korban? 

Jawabannya disampaikan secara perlahan, dalam cepatnya aksi tembak menembak, kejar mengejar, ledakan-ledakan, dan penyergapan, lengkap dengan dialog segar, yang selalu bersumber dari kecanggungan antargenerasi, tetapi tak pernah bosan memancing tawa.