AJI Tolak Revisi 2 Pasal UU Pers Dalam Omnibus Law

• Tuesday, 18 Feb 2020 - 19:50 WIB
Foto: Okezone.com/Sarah

JAKARTA - Beberapa organisasi pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menolak keras adanya dua pasal yang terdapat di dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Kedua pasal yang dikecam tersebut adalah Pasal 11 dan Pasal 18. Pasal 11 sendiri membahas mengenai penambahan modal asing pada perusahaan pers, sedangkan pasal 18 soal pemberian denda sebesar Rp2 miliar terhadap perusahaan pers.

Pasal 11 sendiri berbunyi: "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".

Adapun Pasal 18 Ayat 1 berbunyi: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar".

Kemudian ayat 2 berbunyi: "bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2, serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar".

Mengenai hal itu, AJI pun menolak dengan adanya dua pasal tersebut. Mereka kompak mempertanyakan apa urgensi pemerintah dengan adanya peraturan-peraturan itu.

"Sebenarnya kami juga tidak terlalu melihat urgensinya. Karena pasal yang awal kan penambahan modal asing dilakukan pasar modal, selama ini dilakukan. Pemerintah mengubah jadi ada tanda tanya sendiri, karena pemerintah memasukan klausel pemerintah pusat," ucap Ketua AJI, Abdul Manan di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).

"Ini juga diperparah pemerintah naikan sanksi denda dari Rp500 juta jadi Rp2 miliar. Kami mempertanyakan apa urgensinya. Karena sanksi denda itu instrumen penghukuman. Kita mendorong kalau ada sengketa pers tidak pidana. Kalau mau perdata. Itu pun mendorong memberikan sanksi denda yang proporsional, bukan yang semangatnya membangkrutkan," kata Manan. (wal)

(Sumber : Okezone.com)