Penumpang Gelap Ditikungan

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Pernyataan ketua umum PDI perjuangan Megawati pada kongres IV di Bali mengenai adanya "Penumpang Gelap yang Menyalip di Tikungan" ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Ibarat hikayat Bharatayudha, Genderang perang mulai ditabuh.

Barisan relawan yang tergabung dalam Ormas Projo meminta partai pendukung pemerintah yakni KIH (Koalisi Indonesia hebat) jangan 'terlalu genit' menuntut bahkan mengganggu kerja Presiden Jokowi yang belum mencapai umur 6 bulan.

Ketua bidang hukum Ormas Projo,  Sunggul Hamonangan Sirait pada diskusi Sindotrijaya FM "Penumpang Gelap di Tikungan" Sabtu (11/4) mengatakan, seharusnya Parpol koalisi pemerintah bersama relawan memberi waktu kepada Jokowi-JK untuk membuktikan serta merealisasikan janji janjinya pada kampanye pilpres lalu.

Sunggul mengingatkan, agar seluruh stakeholder pendukung Jokowi harus tertib dalam barisan politik. Komunikasi antara KIH yang di motori PDIP bersama Presiden meski terhalang protokoler, masih bisa dilakukan sewaktu waktu tanpa harus diketahui oleh media.

Sunggul menegaskan, Relawan Projo yang telah menjadi Ormas tidak akan menjadi penumpang gelap dan terus mengawal keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK.

"Projo itu cinta buta terhadap Jokowi", kata Sunggul.

Sementara itu, politisi PDI perjuangan rokhmin dahuri menjelaskan, pernyataan keras dan tegas ketua umum PDI P Megawati di Bali mengenai penumpang gelap hanyalah amunisi pencerahan bagi seluruh kader.

Menurut rokhmin substansi paling utama dari Pidato Megawati hanyalah masalah kebangsaan seperti Trisakti, revolusi mental dan nawacita yang merupakan buah pikiran the founding fathers, yakni Bung Karno.

Rokhmin menegaskan sesuai kesepakatan kongres IV di Bali, kepada Presiden jika terjadi permasalahan harus berkomunikasi dahulu bersama KIH, dan bukan melenggang ke pihak pihak tertentu.

Pendapat senada dikemukan oleh Wakil ketua Fraksi partai Nasdem Johny G plate yang mensinyalir adanya pihak pihak tertentu yang membelokkan Presiden dari koalisi pendukungnya.

"Dimana mana yang menikung atau menyalip itu ya lawan, nah kalau dengan Relawan, kami (KIH) hubungannya bak simbiosis mutualisme", kata Jhonny.

Sementara itu dari sudut pandang psikologi, Bak tembang 'Sakitnya Tuh Disini' milik pedangdut Cita Citata, pakar psikologi UI Dewi Haroen membaca pesan tersirat dalam pidato Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sebagai orang yang telah mengangkat Jokowi hingga ke kursi RI 1, menurutnya sangat wajar jika Mega menuntut agar dia tetap loyal padanya.

"Bagi Bu Mega, sakitnya tuh di sini! Dari sudut Bu Mega, dia memberikan mandat ke Pak Jokowi untuk melaksanakan jadi petugas partai sehingga Trisakti dijalankan sesuai konstitusi. (Baginya) Kalau nggak ada Mega, Pak Jokowi nggak jadi," ujar Dewi.

Di mata Dewi, satu kenyataan yang tidak kalah pahit bagi puteri pertama Soekarno itu adalah saat rakyat lebih mendukung Jokowi menjadi Ketum PDIP ketimbang dirinya.

"Sekarang rakyat ramai dan juga hasil survey menunjukkan  seharusnya yang jadi ketua PDIP itu Pak Jokowi, Kemenangan yang dicapai setelah 10 tahun di luar pemerintahan, tiba-tiba datang Jokowi yang populer di PDIP dan dianggap pimpinan PDIP lebih baik (dia) bukan Mega ataupun keturunan Soekarno. Dari gesture tekanan suara jelas tersirat sakitnya tuh di sini," analisanya.

Dewi juga menganalisis, kerasnya suara Megawati terhadap kadernya Jokowi diperparah tudingan adanya lingkar dalam istana yang menghambat komunikasi Presiden kepada koalisi nya.

"Apalagi sekarang ke istana komunikasi sangat terhambat. Orang-orang yang bersuara di istana kaitannya lemah dengan PDIP," pungkas Dewi.

Pandangan berbeda dilontarkan Pengamat politik dari lembaga survei CSIS, Phillips Vermonte, soal petugas partai yang didengungkan Megawati sebelum dan sesudah Jokowi menjadi RI 1  jauh berbeda dengan ayahnya, Soekarno.

"Ingat Jas merah(jangan sekali sekali melupakan sejarah), Bung Karno itu orang yang anti sama partai loh makanya dulu dia mengembalikan (pemerintahan) Indonesia melalui dekrit presiden.

Menurut Phillips, Bung Karno menunjukkan relatif ketidaksukaannya pada parpol waktu itu,mengingat posisi presiden sangat lemah di hadapan Parlemen hasil pemilu 1955.

"Kalau dalam pidato Mega (menyebut) Pak Jokowi petugas partai dan menteri juga itu adalah logika yang ditolak Bung Karno," lanjutnya.

Menurutnya, seusai pemilu tugas presiden sebagai petugas partai selesai sudah. Melainkan presiden harus menjadi milik konstitusi yang senantiasa dituntut mengedapankan kepentingan masyarakat di atas golongannya.

Kedepan gonjang ganjing politik makin memanas! Sementara Rakyat hanya menjadi penonton ditengah makin melambungnya harga BBM dan harga harga kebutuhan pokok.

Sebenarnya siapa yang menyalip di tikungan sih?

 

 

(ARS)