Catatan RAPBN 2016

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Dalam pidato Nota Keuangan 2016, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/), Presiden Joko Widodo menargetkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar 5,5 persen. Serta memproyeksikan kondisi ekonomi global membaik sehingga kinerja ekspor-impor serta permintaan global atas produk-produk Indonesia meningkat.

Menanggapi hal itu Anggota Koisi XI DPR RI dari fraksi Persatuan Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya FM Jakarta bertema "Catatan RAPBN 2016" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (15/8) menilai, langkah Presiden Joko Widodo menurunkan target ekonomi 5,5 persen pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2016, adalah hal yang realistis. Meski demikian tidak menampik bahwa angka 5,5 persen itu masih bisa diperdebatkan. Karena  saat berdiskusi mengenai asumsi makro di Komisi XI, banyak yang masih meragukan apakah 5,5 persen itu tidak terlalu tinggi, Mengingat pada kuartal pertama pertumbuhan ekonomi 4,71 dan kuartal kedua 4,67 persen.

Disisi lain, Mengamati Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2016, Anggota Komisi XI DPR Zulkieflimansyah menilai pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak berpihak kepada industri strategis, dan di tengah membangun optimisme,  Presiden Jokowi lupa menyinggung pentingnya industrialisasi dan private sector, yang merupakan mesin pertumbuhan ekonomi. Karena si dalam ekonomi terbuka agent of economy development yang utama bukan pemerintah, melainkan industri dan private sector.  Harusnya  untuk menyelesaikan masalah mendasar,  pemerintah mesti melayani private sector.

Sementara itu, dikalangan pengusaha yang tergabung dalam Asoasiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih kreatif dalam menetapkan pendapatan negara. Menurut Ketua Umum APINDO, Haryadi Sukamandi, Kalangan pengusaha tidak terlalu mengkhawatirkan target pertumbuhan ekonomi yang dipatok Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar 5,5 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Pengusaha justru menanyakan target penerimaan negara yang tinggi, seperti halnya penerimaan pajak.

Hariyadi menjelaskan, target penerimaan pajak yang sudah dipatok pemerintah mulai dipertanyakan pada awal pemerintahan Jokowi-JK. Karena pada tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan naik sekitar 38 persen, sedangkan tahun ini naiknya 5,1 persen. dan  itu catatan bagi para pengusaha, haryadi mengingatkan,  jangan sampai target ini menimbulkan kontra produktif, karena dengan target penerimaan pajak yang tinggi akan membuat pemerintah melakukan pengumpulan pajak.

Sementara itu,  Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai, asumsi makro RAPBN 2016 untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen terlalu berat dicapai, karena pemerintah terlalu optimistis menetapkan target tersebut, sementara situasi ekonomi eksternal belum kondusif. Menurut Ichsan, semestinya pemerintah harus realistis dan mempertimbangkan akurasi dalam menetapkan angka pertumbuhan ekonomi.

Ichsanuddin Noorsy memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,2 persen, dan minimal 4,8 persen seperti tahun 2015. jika fiskal dan moneter terjadi ekspansi, maka inflasi akan naik. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi tidak akan menyentuh angka 5,5 persen. dengan kata lain, jika inflasi naik, tidak akan bilang 5,5 persen, karena akan bersaing dengan tingkat suku bunga. Ichsanuddin juga mengkritik kinerja pemerintah selama delapan bulan belakangan cukup buruk, karena penyerapan anggaran baru 26 persen, sedangkan hanya tersisa tiga bulan lagi untuk "tutup buku". dengan demikian

Serapan anggaran APBN 2015 tidak mungkin melampaui 90 persen, dan jika  tidak melampaui itu, maka pertumbuhannya ekonomi hanya bergerak di 4,8 persen.

 

 

(Tito Suhandoyo)