Belajar Dari BBM

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Narasumber:

- DR. DENNI PUSPA PURBASARI (Asst. Staf khusus wapres)
- DR. ENNY SRI HARTATI (Direktur INDEF)
- BENNY SOESETYO (Budayawan)
- Prof. DR. HAMDI MULUK (Pakar psikologi sosial politik)

 

”Penghematan” barangkali itu kata yang tepat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan tidak menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April 2012. Penghematan pun harus dilakukan seluruh penyelenggaran negara mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat dapat tumbuh kembali.  

Kalau pemerintah menyadari itu maka tiga bulan pemerintah harus memiliki keteladanan misalnya pemerintah mengadakan sebuah revolusi besar-besaran birokrasi penghematan dana-dana publik tidak untuk jalan-jalan lagi bukan untuk keluar negeri lagi dan dana-dana publik itu jelas,”kata Budayawan Benny Soesetyo dalam Polemik Sindo Radio di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (31/3/2012).

Selanjutnya, ujar Benny jika penghematan dilakukan pemerintah maka harus direalisasikan dengan membangun infrastruktur bagi masyarakat

“Penghematan segini saya gunakan untuk misalnya untuk perbaikan sekolah segini jembatan segini maka harus ada crash program dalam tiga bulan itu maka kalau itu dibuat lain akan terjadi, ini lho yang kita buat penghematan segini maka disinilah jalan-jalan yang rusak diperbaiki segini, kemudian jembatan yang rusak diperbaiki maka disitu orang punya harapan,”sebutnya.

Disisi lain, Benny mengritik para penyelenggara negara yang selalu membuat kegaduhan dalam setiap hal seperti masalah BBM ini.

“Jadi pemerintah harus mempunyai siasat kebudayaan begitu lho, selama ini pemerintah tidak ada siasat kebudayaan yang ada pesilatan, dalam pesilatan seperti ini pertarungannya  maka semua dipolitisasi,”tegasnya.

Kegaduhan politik dari penyelenggara negara ini terkait dengan masalah bahan bakar minyak ini telah berimbas terhadap perilaku masyarakat. Menurut Pakar Psikologi Sosial Politik UI. Hamdi Muluk, masyarakat lebih mudah untuk menggantungkan masalahnya itu kepada demokrasi jalanan.

“Kita jangan terjebak kepada sebuah romantisasi yang sebenarnya agak berlebihan ketika kita salah memahami apa yang disebut dengan vox populi vox dei suara orang banyak suara Tuhan, maksudnya begini ijinkan saya pepatah minang kato orang banyak kato bagalau artinya begini kata-kata dari orang banyak itu yang di pasar, dan semuanya, bagalau itu artinya riuh ricuh tidak ada kebenaran kacau balau tidak ada wisdom disitu karena bagalau semua tidak jelas ujung pangkalnya. Artinya kalau kita mengandalkan demokrasi kita pada jalanan ada kegaduhan itu message-nya maksudnya bahwa suara rakyat harus ditangkap sebagai suara kebenaran,”paparnya.

Seharusnya, lanjut Hamdi proses itu diserahkan kepada proses yang bermartabat tau politik yang bermartabat di pemerintahan dan di DPR. ”Dengan begitu, kita bergerak lagi dengan argumentasi dengan kajian dengan akal sehat tidak mengandalkan lagi ricuh dan riuh seperti di pasar dan tidak perlu mengorbankan rakyat,”harapnya.

Direktur INDEF Enny Hartati mengharapkan ada konsistensi dari kebijakan pemerintah terutama untuk kebijakan bahan bakar minyak tersebut.

“Konsistensi mesti konsisten kalau memang ingin dapat empati dan kepercayaan masyarakat,”ujarnya.  

Terlepas dari hal tersebut, satunya kata dan perbuatan harus menjadi pegangan pemerintah dalam mengambil sejumlah kebijakan untuk rakyat. “Jadi sekarang yang dituntut rakyat itu satu masih adakah kata perbuatan satu atau lagunya Broery Pesolima “jangan ada dusta diantara kita”,”:kata Benny.