PERTARUNGAN POLITIK PILKADA

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Undang-undang pilkada baru saja di-sah-kan DPR dan Polemik bergulir dengan berbagai pandangan, bahkan banyak pihak yang menentang UU tersebut. Salah satunya Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ketua KPU DKI Sumarno menganggap independensi KPU bisa terganggu, karena adanya revisi pada pasal 9. Karena pada pasal yang direvisi, dinyatakan bahwa hasil rapat antara KPU, DPR RI dan pemerintah sifatnya mengikat yang akan menganggu netralnya KPU akibat adanya kepentingan dan intervensi dari anggota DPR.

"Kalau dari sisi netralitas dan independensi KPU ini jelas kemunduran. Karena alam UU disebutkan bahwa KPU lembaga yang netral," ujar Sumarno dalam POLEMIK sindotrijaya di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6/2016).

Bunyi Pasal 9 huruf a UU Pilkada yakni KPU bertugas menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum RDP yang keputusannya bersifat mengikat.

            Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR, Muhammad Lukman Edy mengimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melakukan judical review ke Mahkamah Konsitusi (MK), terkait UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Lukman menyarankan, sebaiknya penyelanggara Pemilu ini meminta LSM yang melakukan uji materi terhadap aturan tersebut. Menurut dia, apabila KPU melakukan juci‎dial review maka akan merusak sistem bernegara.

"Saya tidak menghalagi KPU melakukan jucidial review ke MK. Tapi ini kurang etis karena sebaiknya KPU melakukan konsolidasi saja dan meminta LSM atas nama masyarakat yang melakukan jucidial review. Karena kalau KPU yang melakukannya akan menghilangkan substansi, sebab KPU, Komisi II dan pemerintah itu harus sejalan dan ibaratnya trisula penyelenggara negara," ujar Lukman dalam acara talk show Sindotrijaya Network yang bertajuk 'Partarungan Politik Pilkada' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (11/6)

Lebih lanjut Lukman memastikan, aturan verifikasi ‎faktual yang diberlakukan tersebut tidak bermaksud untuk menjegal adanya calon kepala daerah yang akan maju lewat jalur independen. Sebab menurut dia, UU itu dilakukan guna meminimalisir adanya calon kepala daerah 'nakal' yang melakukan rekayasa dukungan sebagai syarat mencalonkan diri di KPUD nantinya.

"‎Ini dilakukan untuk kepentingan semua. Bukan untuk menjegal petahana di DKI. Ini persoalan calon independen yang sudah banyak melakukan rekayasa. Di lapangan itu ada calo KTP yang menerapkan Rp1000 untuk satu KTP-nya," tandas Lukman.

Lukman Edy juga mengklaim bukan DPR yang berusaha menjegal calon perseorangan dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), melainkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Saya bilang yang menjegal Ahok bukan DPR, tapi KPU? Karena, soal verifikasi faktual itu 100 persen kami sadur dari PKPU (Peraturan KPU)," kata Lukman. Dia juga menambahkan, DPR memasukkan norma-norma dari PKPU dan praktik verifikasi faktual memang bukan baru diterapkan saat ini.

Selain itu, lukman menjelaskan, verifikasi juga bukan tiga hari melainkan 28 hari dan pihaknya sudah melakukan simulasi aturan tersebut di beberapa daerah. Jika dihitung rata-rata penduduk yang perlu diverifikasi KPU dalam sehari, angkanya masih memungkinkan, yaitu rata-rata 40 orang di setiap desa.

Selain aturan mengenai verifikasi, lanjut dia, aturan yang dianggap menjegal calon perseorangan adalah formulir dukungan yang dikumpulkan harus sesuai dengan yang dikeluarkan KPU. "Teman Ahok pasti akan bikin formulir ulang. Sementara di formulir KPU kan tidak ada kop surat Ahok," ujar dia.

            Sementara itu, Koordinator Muda-Mudi Ahok Ivanhoe Semen menyatakan waktu 3 hari yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk veridfikasi pendukung calon independen dianggap sebagai keputusan yang sangat Jakarta Sentris dan tidak mementingkan wilayah lain di luar Jakarta.

Padahal waktu 3 hari adalah waktu yang sangat cepat dan hanya bisa digunakan di Jakarta tapi tidak bisa dilakukan karena kondisi geografis Indonesia. Selain itu, KPU juga menetapkan bahwa saat mendaftar ke KPU, calon independen seperti Ahok harus menggunakan formulir yang sesuai dengan formulir KPU bukan formulir dari Teman Ahok.

"Kita sudah mengira-ngira ada bahwa ada banyak kepentingan apalagi di pasal 48 yang heboh terkait verifikasi. Diberi waktu 3 hari, kami lihat itu sangat Jakarta sentris. Di daerah lain kondisi geografis enggak seperti di Jakarta," kata Koordinator Muda Mudi Ahok Ivanhoe Semen dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6/2016).

Selain itu, Ivanhoe menilai aturan yang baru di-sah-kan itu merugikan calon independen. “Memang ada pasal yang merugikan,” tutur Ivanhoe

Lebih lanjut Ivanhoe menjelaskan, aturan dalam UU Pilkada terlalu berpusat di Jakarta. Aturan itu sulit dilaksanakan di daerah-daerah lain, karena adanya masalah keterjangkauan. “‎Kalau bicara pilkada di daerah lain, tidak semua seperti di DKI Jakarta. Dalam waktu 3 hari kalau tidak bisa hadirkan pendukung, itu gugur,” jelas Ivanhoe.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Lely Arriane menilai, pasal-pasal dalam UU Pilkada itu, adalah upaya DPR untuk menjegal calon perseorangan, termasuk calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Meski demikian, jika persiapan dilakukan dengan baik, upaya tersebut tidak akan berhasil.

“Gimana pun ini suatu jalan menjegal. Kalau tanda tangan itu benar, KTP itu benar, cara jegal gimana pun tidak akan sampai,” tandas Lely.

Pasal yang dimaksud Lely adalah Pasal 48 UU Pilkada yang mengatur, jika pendukung calon perseorangan tidak dapat ditemui Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam verifikasi faktual di alamatnya, pasangan calon diberi kesempatan menghadirkan mereka ke kantor PPS dalam waktu tiga hari, terhitung sejak PPS tidak dapat menemui mereka. Ketika dalam batas waktu tersebut tidak dipenuhi, maka dukungan dicoret.

            Namun, dari pandangan ini Lely Arrianie mengatakan para pendukung jalur independen tidak perlu khawatir tentang aturan verfikasi administrasi dan faktual.

"Kalau dukungan itu benar, tanda tangan itu benar, KTP itu benar, cara menjegal itu tidak akan pernah terjadi, tidak akan pernah sampai," kata Lely. Dia juga mengatakan mengenai verifikasi faktual yang harus menghadirkan pemilik KTP, tidak perlu diributkan.

Menurut dia, tim calon perseorangan, khususnya Ahok, pasti tidak kesulitan menghadirkan pada pendukung tersebut. "Kalau perlu diongkosin. Kan bukan politik uang juga itu," kata dia.

Selain verifikasi faktual, dukungan terhadap calon perseorangan adalah pemilih yang sudah terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebelumnya atau Pemilu tahun 2014 lalu.

            Sementara perseteruan, peneliti dari  Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M. Pratama menyatakan pertarungan yang terjadi jelang pilada dan saat pembahasan aturannya adalah hal biasa, karena ini terkait kontestasi.

            “Pertarungan politik pilkada ini wajar, karena terkait kontestasi dan representasi yang melibatkan berbagai calon baik dari perseorangan maupun melalui partai politik” ungkap Heroik. Namun yang terpenting, menurut Heroik adalah gagasan utama dalam pelaksanaan pilkada serentak dengan tujuan dasar pemilihan dan ruang kepercayaan masyarakat.

            Untuk itu, pihaknya bersama teman yang lain siap mengawal dan menjaga pelaksanaan pilkada serentak 2017 yang akan dilaksanakan diseluruh indonesia. “kita jaga agar ruang persaingan tetap terjaga. Dengan memastikan pelaksanaannya bukan momentuk satu daerah saja, tetapi seluruh wilayah di indonesia.” tutup Heroik

Menanggapi hal ini Komisi Informasi Pusat yang juga dilibatkan, siap mengawal pelaksaan pilkada serentak, terkait ketersebaran informasi. Melalui ketua KIP, John Fresley dijelaskan pihaknya akan membuka ruang seluas luasnya untuk partisipasi publik terkait pelaksaan pilkada ini.

“Standar penyebaran informasi ini harus dibangun dengan mekanisme dengan cara membangun managemen audit informasi” ujar John Fresley.