Mencari Sumber Yang Waras

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi, pertengahan pekan lalu telah menyampaikan hasil kesimpulan dari penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dengan menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana korupsi. Atas pernyataan ini, banyak polemik yg timbul di tengah masyarakat.

 

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon adanya pernyataan itu,  berpotensi merusak kredibilitas BPK dalam mengaudit keuangan. Serta bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap BPK.

 

"Harus ada pertemuan, kalau perlu terbuka di masyarakat, gelar perkara saja di publk. Ada audit forensik, dana Rp 755 miliar itu mengalir ke mana, ke yayasan kah, ke orang kah, apalagi dibayarkan tgl 31 Desember," kata Fadli dalam diskusi POLEMIK sindotrijayaFM "mencari sumber yang waras" sabtu (18/6)

 

Selain itu, fadli zon juga mengusulkan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar uji publik terkait pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

 

Sementara itu, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri juga sepakat dengan usulan tersebut.

 

Namun, menurut dia, BPK tidak akan berani menggelar uji publik, karena ada kesalahan BPK dalam melakukan audit keuangan.

 

"Kami meragukan BPK mau atau tidak. Kami yakin BPK tidak berani karena BPK salah. ICW tantang BPK uji publik," ujar Febri.

 

Menurut Febri, ICW telah melakukan analisis yang pada hasilnya tidak ditemukan indikasi korupsi dalam pembelian lahan milik RS Sumber Waras.

 

Sebaliknya, BPK melakukan kesalahan dalam menggunakan acuan undang-undang audit kepatuhan atau audit investigasi.

 

Karen menurut ICW, seharusnya mereka mengacu ke Perpres Nomor 40 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Selain itu, ketika melihat prosedur pengadaan tanah, BPK seharusnya mengacu pada peraturan pemerintah dan peraturan Gubernur DKI Jakarta soal perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

 

NJOP dinilai tidak berdasarkan fisik tanah, tapi pada prosedur yang ada, terutama pada zonasi.

 

Meski begitu, Wakil Ketua DPRD DKIAbraham 'Lulung' Lunggana menilai Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum lolos dari lubang jarum.

 

"Masalah ini sudah jadi kasus publik. Saya tidak setuju kalau Ahok benar. Ini kan masih proses hukum. Jangan bilang Ahok benar," kata Lulung dalam Diskusi Polemik Radio Sindo 'Mencari Sumber yang Waras' di Warung Daun, Jakpus, Sabtu (18/6/2016).

 

"Ini kita yang enggak punya dosa, berdebat. Yang punya dosa santai-santai saja," tambahnya.

 

Lulung lalu mengisahkan pangkal polemik Sumber Waras bergulir di 2014. Dia memaparkan soal bagaimana Kemendagri menyerahkan APBDP 2014 untuk dievaluasi.

 

"Semula tidak dianggarkan itu Sumber Waras. Itu tidak dievaluasi Ahok. Lalu Ahok baru surati kami. Dibalas dengan SK, kami sahkan. Tapi dari semua pimpinan, saya tidak paraf. Ini tidak benar. Kenapa ini tidak dievaluasi," papar politikus PPP ini.

 

Lulung menganggap pembelian lahan RS Sumber Waras tidak sesuai dengan prosedur. Dia pun mempertanyakannya.

 

"DPRD satupun tidak pernah diperiksa di KPK terkait pembelian tanah. Artinya, ini dosa besar pemerintah DKI beli tanah Sumber Waras tidak dengan kesepakatan atau keputusan. Dosa Kemendagri, dosa Pemda, dosa teman-teman saya di DPRD," ujar Lulung.

 

Ditempat yang sama, teman Ahok yakin Ahok tidak bersalah di kasus ini. Prosedur yang dilakukan Pemprov DKI dianggap sudah benar.

 

"Kira meyakini Ahok di jalan yang benar. Kita berkyakinan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan tidak ada kerugian yang terjadi di sini," kata Ahli Hukum Teman Ahok, Andi Syafrani.

 

Selain itu, Andi P Syafrani, mengatakan bahwa kisruh yang muncul dalam pembelian lahan oleh Pemprov DKI bermula karena sumber yang pertama kali digunakan tidak tepat.

 

Sumber yang dimaksud Andi adalah dasar hukum yang digunakan BPK untuk mengaudit pembelian lahan tersebut.

 

"Kisruh ini muncul karena sumber yang pertama kali tidak waras. Ibarat aliran sungai, sumber airnya sudah keruh. Bicara soal aspek hukumnya, kita harus punya positioning pijakan yang sama. Ini sumber pertama yang menurut saya keruh," ujar Andi dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/6/2016).

 

Menurut Andi, sumber hukum yang seharusnya digunakan adalah Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

"Yang menjadi sumber hukum terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah Perpres Nomor 40 Tahun 2014. Jadi, sumber ini yang jadi dasar. Ketika sumber ini berbeda, ya tentu salah ujungnya," kata dia.

 

Sementara itu, kata Andi, BPK hanya menggunakan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang ada pada Perpres Nomor 40 Tahun 2014.

 

"BPK DKI, yang dijadikan dasar adalah Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Saya tidak tahu ini kesalahan sengaja atau karena alfa. Tentu hasilnya berbeda," ucap Andi.

 

Dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras, audit BPK menemukan adanya indikasi kerugian negara. Namun, pada Selasa (14/6/2016), Ketua KPK Agus Rahardjo telah menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras.

 

Dalam penyidikannya, KPK menggandeng para ahli untuk memberikan keterangan seputar kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Di antaranya yakni dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan MAPI.

 

Hasil perbandingan data-data dan pemaparan para ahli menyebutkan tidak ada indikasi kerugian negara dalam hasil audit BPK terkait pembelian lahan Sumber Waras.

 

Diujung diskusi dosen Hukum Pidana Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah menilai aneh soal penyelidikan KPK terhadap kasus pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras. Pasalnya, dari beberapa kasus, sejumlah laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selalu dijadikan dasar penyidikan bagi KPK.

 

“Kasus Andi Mallarangeng, Jero Wacik, laporan BPK jadi salah satu pisau analisis KPK untuk dapat menyelamatkan keuangan negara,” kata Hery dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 18 Juni 2016.

 

Menurutnya, karena dalam sejumlah kasus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, BPK selalu dijadikan pisau analisis, maka kasus pembelian RS Sumber Waras dianggap menjadi preseden di dunia hukum. Sebabnya pada kasus korupsi yang sama, KPK menggunakan pola pendekatan yang berbeda.

 

“Audit BPK saya membacanya sebagai guidance, pintu masuk awal. Kita enggak mungkin masuk lewat pintu belakang. Dalam pidana, kita inginkan penyidikan harus benar dari awal. Proses ini harus dijaga marwahnya dari awal. Enggak baik kalau di depannya sudah abai,” kata Hery.

 

Hery pun menilai salah satu bentuk abai yang dilakukan, tiap lembaga penegak hukum dalam bertindak tidak boleh hanya berpikir ego sektoral. Menurutnya, undang-undang diatur fungsi audit investigatif menjadi ranah BPK. Sehingga karena tugas itu sudah melekat diberikan undang-undang maka akan menjadi janggal ketika audit BPK di bypass (dilewatkan) sesama lembaga negara.

 

“Sangat mungkin secara tidak langsung menimbulkan keributan di publik, mana yang benar, kepastian hukumnya di mana,” kata Hery.