OBAT PALSU, SIAPA MAU??

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Marakanya temuan obat palsu saat ini sudah sangat meresahkan masyarakat, bahkan masyarakat sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang asli dan yang palsu. Atas temuan tersebut, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng Muhammad Faqih menilai, obat palsu bisa lebih berbahaya dibandingkan uang palsu.

“Uang palsu hanya berdampak pada perputaran ekonomi. Sementara obat palsu, berdampak pada metabolisme tubuh dan dalam perspektif makro, ia bisa berdampak pada generasi,” kata Daeng dalam diskusi SindotrijayaFM, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2016).

Sementara, Untuk mengantisipasi agar tak menjadi korban peredaran obat-obatan ilegal tersebut, ada beberapa tips yang dianjurkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). "Supaya aman, salah satu caranya adalah dapatkan obat dari tempat resmi. Jadi masyarakat kalau mau dapat aman, cari tempat resmi untuk cari obat," ujar Daeng Fakih, usai diskusi.

Tempat resmi yang dimaksudkan Fakih adalah apotek yang memiliki izin resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan memiliki apoteker berizin untuk meracik obat. "Selain itu, pakai obat atas anjuran dokter, karena pemakaian obat itu semestinya dari indikasi medis," kata Fakih.

Menanggapi hal ini, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai masih lemahnya pengawasan pada jalur distribusi obat menjadi celah banyaknya beredar obat palsu di masyarakat. Selama ini pengawasan obat-obatan hanya dilakukan saat obat sudah masuk ke pasar.

"Memang ada sistem distribusi dan penyerahan obat yang belum tertib, sehingga ada peluang orang dapat obat dengan gampang," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) IAI, Noffendri, Sabtu (10/9)

Sementara untuk pencegahannya, Noffendri meminta adanya proses sertifikasi di seluruh sarana kefarmasian. Bukan hanya dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tapi perlu keterlibatan seluruh elemen dan stakeholder terkait.

"Supaya seluruh sarana kefarmasian itu ada sertifikasinya. Sarana produksi sudah dikawal dengan baik oleh BPOM. Sarana distribusinya juga harusnya diwajibkan (sertifikasi). Di pelayanannya juga harus disertifikasi," jelas dia.

Menurutnya, pengawasan di jalur distribusi dan pengawasan pelayanan bidang farmasi yang ada selama ini, masih jauh dari kata baik. Oleh karena itu, sistem sertifikasi bisa menjadi jalan guna mencegah peredaran obat palsu semakin marak di masyarakat.

"Dengan sistem (sertifikasi) itu bisa dipantau pengadaan dan penyalurannya sehingga sertifikasi bisa jadi syarat perpanjangan izin. Ini kan kerja sama antara BPOM dan Dinas Kesehatan juga. Kalau IAI hanya mengawasi apoteker di pelayanan," ujar dia.

Peredaran obat palsu mulai meresahkan usai petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Badan Reserse Kriminal Polri menggerebek lima pabrik obat palsu di Balaraja, Banten, awal September ini. Petugas menangkap puluhan pekerja dan menyita ribuan obat palsu dengan tiga merek dagang.

          Terkait masalah hukum, dalam peredaran obat palsu. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan produser obat palsu dijerat pasal berlapis supaya ada efek jera. Karena, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku peredaran obat kedaluwarsa dan palsu dinilai masih tergolong ringan.

"Perlu ada pasal yang berlapis, tidak hanya dijerat UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen saja tapi juga UU money laundering agar memberikan efek jera," kata Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sularsi dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakpus, Sabtu (10/9/2016).

Menurut dia, pemerintah hingga kini belum memberikan sanksi berat yang membuat para produsen obat palsu ini jera. "Jangan sampai ada penindakan tapi putusan hakim tidak menimbulkan efek jera. Terkadang hanya hukuman percobaan, tapi tidak secara maksimal. Jadi ketika ada produsen obat palsu, harus diproses secara tegas dan jelas," ujar dia.

Sularsi mengatakan YLKI pernah beberapa kali mendapat laporan dari masyarakat terkait beredarnya obat-obatan ilegal tersebut pada tahun 2005. Namun saat diselidiki oleh YLKI, produsen obat tersebut mengaku obat palsu yang beredar bukan milik mereka, namun dipalsukan oleh oknum tak bertanggung jawab.

"Sebenarnya peredaran obat palsu ini terjadi sudah lama sekali. 10 Tahun lalu, ada pengaduan masyarakat mengenai obat palsu, yang kami cek di lapangan. Saat itu kami memutuskan untuk tak mengumumkan ke publik untuk menjaga nama baik produsen obat yang (obatnya) dipalsukan," kata dia.

"Apabila ada pengawasan, harus dari hulu ke hilir. Sebab apabila kalau di hilir saja, masyarakat enggak tahu mana obat palsu atau yang asli. Tapi kalau dari hulunya, akan ada pengawasan yang baik, aktor utamanya akan segera ditindak, karena obat palsu ini kan kita seperti mempertaruhkan nyawa bangsa ini," jelas Sularsi.

Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf meminta kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk tetap memberlakukan satgas agar dapat menindak lanjuti obat palsu yang beredar di Indonesia.

"Kita melakukan penekanan pada BPOM dan Kemenkes, semenjak kasus vaksin palsu, kami minta satgas untuk tidak berhenti pada vaksin saja, tetapi pada obat juga," ucap Dede dalam acara diskusi "Polemik Obat Palsu, Siapa Mau?" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9).

Menurutnya, selama ini banyak obat-obat palsu yang beredar di Indonesia. Banyak para pedagang obat palsu yang menganggap bahwa BPOM akan melakukan sidak menjelang hari raya.

"Point utama satgas ini harus diteruskan. Kerjasama harus diteruskan, karena mereka (pedagang) beranggapan bahwa BPOM kalau sidak hanya pada menjelang Lebaran dan Natal. Ini sudah bisa terbaca oleh masyarakat," terangnya.

Dede menambahkan mereka yang mengedarkan obat-obat palsu telah mempunyai dukungan-dukungan yang kuat dari berbagai kalangan.

"Tentu kedepannya konsep yang harus dirubah, jangan hanya tes lab saja. Pengedar obat palsu itu pasti punya backingannya. Kalau mereka tidak punya, pasti tidak bisa bertahan hingga puluhan tahun," lanjutnya.

Di dunia industri, semua bahan obat yang ada di Indonesia diimpor. Karenanya, jika diracik sedemikian rupa obat-obatan tersebut jadi ilegal. "Narkoba kan turunannya dari obat. Di dunia industri obat, semua bahan impor, kalau diolah-olah sedikit obat-obat itu bisa menjadi carnophen," tandas Dede.

Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengajak semua pihak untuk mau terlibat dalam mengawasi peredaran obat-obatan palsu. Pasalnya, BPOM tidak bisa sendirian mengawasi obat-obatan tanpa peran serta masyarakat maupun pelaku usaha di bidang farmasi.

"Tentunya masyarakat harus waspada. Pengawasan kita bersama karena harus disadari masyarakat adalah konsumen yang pertama harus waspada. Pelaku usaha juga punya tanggung jawab yang sama," ujar Kepala BPOM, Penny K. Lukito, dalam diskusi SindotrijayaFM, bertema “Obat Palsu, Siapa Mau?” di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2016).

Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, BPOM akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi. Salah satunya agar masyarakat menerapkan cek KIK (kemasan, izin edar, dan kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi obat.

"Kita selalu mengedukasi untuk cek KIK. Selain itu, selalu menggunakan dan membeli obat di tempat yang legal. Ada apoteker dan fasilitas berizin lainnya," jelas dia.

Selain itu, BPOM juga akan memanfaatkan teknologi untuk menjaga kualitas obat yang beredar di masyarakat. Pencegahan ini dimaksudkan agar setiap obat-obatan yang beredar memiliki kepastian apakah termasuk obat asli atau obat palsu.

"Kami akan terus mengembangkan pencegahan. Salah satunya dengan teknologi menggunakan pelabelan QR code dan hologram. Dan di sini masyarakat bisa ikut terlibat sehingga dengan hanya dipindai itu bisa langsung di-connect ke web kami," ujar dia.