PROBLEM BBM

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Dalam diskusi polemik sindo radio di jakarta/ Wakil direktur Reforminer Institut KOMAIDI NOTONEGORO menilai
Menaikan harga BBM adalah rasional secara ekonomi. Karena dengan menaikan seribu rupiah aja, maka akan terjadinya penghematan yang besar.

Namun, kebijakan BBM saat ini telah masuk dalam komoditas politik dan sebagai pilihan politik ternyata pemerintah justru memilih dengan pembatasan.

Padahal dengan opsi pembatasan pada april mendatang  memiliki resiko. Resiko itu terkait belum siapnya infrakstruktur dan tersedianya pertamax di jawa- bali dalam rencana pembatasan BBM pada bulan april mendatang.

Hal senada diungkapkan yayasam lembaga konsumen indonesia (YLKI). Anggota YLKI Tulus Abadi menyatakan kebijakan kenaikan harga lebih efektif dan powerful dalam kebijakan BBM bersubsidi.

Pembatasan justru akan menimbulkan sosial impact yang besar. Sebab sebelum ada ada pembatasan, masyarakat juga sudah kesulitan mendapatkan BBM karena ada disparitas harga sehingga terjadi penyelundupan.

Pembatasan adalah cara yang keliru dan tidak akan mensejahterahkan rakyat. Namun ketika BBM dijadikan komoditas politik maka  efisiensi dan penilaian secara ekonomi tidak akan diterapkan.

Sementara itu, dari  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan belum mengetahui opsi pembatasan BBM bersubsidi yang akan diterapkan pemerintah.

Menurut anggota komisi VII DPR dari fraksi PKS Mardani Ali Sera, pembatasan BBM subidi yang dilakukan pemeirntah bukan langkah yang tepat.

Mardani menyampaikan, menaikkan harga BBM sebesar Rp 500-1.000 jauh lebih baik karena bisa menghemat Rp 38 triliun untuk mengimpor BBM.

Disisi lain, meski banyak mendapat kritik, Pemerintah tetap akan menerapkan pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada bulan April tahun ini.

Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menjelaskan secara infrastruktur dan kuota telah terpenuhi. Selain itu, Pembatasan BBM akan memancing masyarakat beralih ke pertamax atau BBG terutama LGV.  Jika  LGV ini akan di impor, harganya jauh lebih murah daripada harus mengimpor BBM. Hal ini secara otomatis memiliki pengaruh terjadinya pengurangan dana subsidi dan Indonesia tidak perlu mengimpor BBM lagi.