Pilkada, Buat Siapa?

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Pembahasan RUU Pilkada kian hari semakin memanas. Masing-masing kubu di DPR masih terus mempertahankan argumentasinya, baik mendukung pilkada oleh DPRD maupun secara langsung. Apakah kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD?

Mayoritas fraksi awalnya memang bersikukuh menolak usulan pemerintah agar pilkada kabupaten/ kota dilakukan melalui sistem perwakilan atau dipilih lewat DPRD. Namun, seiring perkembangan politik di Tanah Air, fraksi-fraksi di DPR mulai melunak. Mekanisme pemilihan lewat DPRD pun menguat.

Berangkat dari situ Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya FM Jakarta bertema "Pilkada Buat Siapa" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/9) mengatakan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang telah berlangsung selama 10 tahun belakangan lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Bahkan salah satu kelemahan dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung adalah maraknya politikus yang gemar berpindah partai atau dikenal sebagai kutu loncat.

Menurut Fadli Zon, demokrasi secara langsung membutuhkan biaya mahal, dan hanya melibatkan orang-orang berkocek tebal yang didukung para cukong. sementara Dengan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau lewat DPRD, menurutnya akan menghemat anggaran negara.

Hal serupa seperti yang di ungkapkan, Anggota Panitia Kerja RUU Pilkada dari Fraksi PAN Yandri Susanto, bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan seharusnya mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Pasalnya, hal tersebut sejalan dengan keinginan presiden terpilih Joko Widodo untuk melakukan penghematan anggaran di pemerintahannya mendatang. menurutnya, pemilihan kepala daerah baik Guberbur, Bupati dan Walikota bisa memakan dana hingga Rp 80 triliun. Pasalnya, ada 500 lebih kabupaten dan kota yang akan melaksanakan pilkada. Selain masalah anggaran, menurut dia, pilkada tak langsung juga memiliki banyak keuntungan lain seperti menghindari konflik sosial antar masyarakat.

Lebih lanjut, Yandri Susanto menilai, Aksi penolakan barisan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla terhadap Rancangan Undang-undang pemilu kepala daerah yang tengah digodok panitia kerja Dewan Perwakilan Rakyat dinilai sebagai bentuk ketakutan lantaran posisi di daerah mereka akan terancam. selain itu, Wakil Sekretaris Jenderal PAN itu membantah jika penyelenggaran pilkada melalui DPRD dikatakan sebagai kemunduran demokrasi dan kembali ke zaman orde baru.

Menanggapi pernyataan itu, Anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahadi Zakaria menepis tudingan bahwa partainya menolak usulan tentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena takut kalah. Ia justru menyebut Koalisi Merah Putih ketakutan dengan pilkada langsung karena rakyat bisa memilih orang-orang berpotensi.

Menurutnya, PDIP menolak RUU Pilkada karena menganggap demokrasi identik dengan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat harus diberi kedudukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan tidak didelegasikan seperti yang dipraktikkan era Orde Baru. bahkan pihaknya meminta, kepada pihak-pihak yang menghendaki pemilihan kepala daerah tidak langsung semestinya mencermati arti kata demokrasi, karena praktik demokrasi di Indonesia sudah dikenal sejak lama.

Pengamat Politik Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad mengatakan, jika pelaksanaan pilkada langsung dihapus, akan berdampak buruk bagi lembaga-lembaga survei, karena pendapatan mereka akan anjlok. Itu sebabnya hampir seluruh lembaga survei menolak pilkada lewat DPRD. Herdi menilai, pelaksanaan pilkada tidak langsung lebih banyak sisi positifnya. Selain menghemat biaya, pilkada melalui DPRD bisa mencegah konflik sosial dan horizontal di daerah. Tidak hanya itu, seleksi calon kepala daerah juga lebih selektif. dan nantinya, Jika rancangan undang-undang tersebut disetujui dalam paripurna DPR, menurut Herdi, PDIP harus siap menerima kekalahan di level gubernur, bupati, dan walikota.

Sementara itu, Juru Bicara Kemendagri Dodi Riatmadji mengatakan, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menghabiskan anggaran per tahun mencapai Rp80 triliun. Selain itu, usulan tentang mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari secara langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD, untuk menekan praktik penyimpangan oleh gubernur, bupati maupun wali kota terpilih. Bahkan, dalam kurun waktu 2005 hingga 2014, sekitar 327 kepala daerah tersangkut masalah hukum. Dari jumlah itu, 80 persen berkaitan dengan kasus korupsi. Implikasi lainnya, kata Dodi, adalah rentannya konflik horizontal yang diakibatkan oleh penyelenggaraan pilkada langsung.

 

 

(Tito Suhandoyo/MKS)