Revisi Wajib Tanam Nafikan Upaya Swasembada Bawang Putih

• Friday, 22 Nov 2019 - 14:49 WIB

Jakarta - Permentan Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, yang salah satu poinnya perubahan dalam wajib tanam bagi importir, dinilai merugikan negara, merusak dunia usaha, dan menafikan petani. Kebijakan ini juga kian menjauhkan upaya untuk swasembada bawang putih. Sejumlah kalangan meminta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mencabut Permentan tersebut.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih menilai, rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih harus diberlakukan dengan sehat. Harusnya, wajib tanam itu memang berlaku. Dia pun meminta Menteri Syahrul mengkaji aturan tersebut.

"Tentu itu prinsip dari KPPU apakah menjadi persaingan. Soal kepentingan apakah itu akan swasembada, itu tentunya kementerian teknis yang punya pandangan itu. Kalau kami apakah semua kondusif ke semua pelaku usaha," ujar Guntur dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (22/11).

Yang jelas, kata dia, kebijakan pemerintah harus memberikan ruang persaingan yang sehat bagi pelaku usaha. "Apapun itu harus beri ruang persaingan sehat," singkatnya.

Anggota Komisi IV Darori Wonodipuro menilai sama. Ia mengkritik Permentan 39 tahun 2019 sebagai langkah ketidak konsistenan Kementan. Menurutnya, Permentan buatan Amran Sulaiman sebelum melepas jabatan menteri pertanian membuat rugi banyak pihak. Bahkan, menafikan upaya swasembada bawang putih yang digagas pemerintah sendiri.

"Itu akhirnya yang bertanggungjawab kan menteri yang baru, bukan dia (Amran). Kalau Menjelang akhir masa jabatan membuat peraturan mestinya menteri yang baru. Harus dicabut itu (Permentan)," kata Darori kepada wartawan, Kamis (21/11).

Darori menukas, seharusnya wajib tanam tidak dicabut. Pencabutan kebijakan tersebut merugikan. Ia mempertanyakan alasan tidak adanya kewajiban tanam bagi pengusaha yang merugikan negara.

Ia mengusulkan, jika importir boleh impor tanpa wajib tanam, seharusnya diterapkan deposit untuk uang menanam. Uang itu nantinya disimpan di bank untuk jaminan menanam.

"Kemarin kita sudah komentari, kalau memang tidak ada kewajiban tanam. Ya, itu perlu ada deposit uang untuk menjadi kalau ada titipan dari importir kalau tidak tanam pemerintah tanam pakai uangnya importir begitu," lanjutnya.

Ia menambahkan, harusnya peraturan dibuat agar negara tidak dirugikan. Usulnya, jika tidak dikenakan wajib tanam, pemerintah bisa menetapkan dana tanam yang wajib disetorkan importir, baik BUMN atau swasta. Jangan sampai, sudah impor nanti sama sekali tidak menanam. Dari dana itu, pemerintah memfasilitasi wajib penanaman bawang.

"Nanti siapa yang tanggungjawab. Kalau tidak ada yang nanam siapa yang menjamin? Bisa penipuan itu. Bisa pidana. Kalau tidak menanam itu bisa rusak kedepannya,“ tegasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto mengatakan Permentan nomor 39 tahun 2019 dibuat dengan berbagai pertimbangan, dan bukan keputusan sepihak. Prihasto mengatakan, Permentan mengakomodir kebijakan WTO (World Trade Organization) yang mengatur persyaratan ekspor impor  berdasar ketentuan mereka.

"Itu kan (menyesuaikan) dari WTO, bukan pertimbangan sepihak dari Kementerian Pertanian, jadi kita tidak boleh mempersyaratkan sesuatu yang diluar WTO," ujarnya.

Prihasto menjelaskan, esensi kewajiban tanam itu tetap ada. Namun, diganti menjadi kemitraan bukan wajib tanam lagi. Ia menegaskan Kementan tetap akan melakukan pengawasan atau kontrol terhadap importir yang sudah mendapat RIPH.

"Jadi misalnya importir dapat RIPH, nanti dia dikasih waktu satu tahun untuk penanaman, tahun berikutnya kita lihat dulu, dia tanam atau tidak, kalau tidak sesuai ya tidak kita berikan lagi RIPH nya," tutur Prihasto.

Ia mengatakan, kebijakan kemitraan importir dan petani ini tetap mengacu pada tujuan utamanya menggenjot produksi produk holtikultura di dalam negeri.

Terkait Permentan itu, Syahrul mengatakan, secara teknis belum melakukan kajian apapun terkait dengan aturan impor mengenai bawang putih.

Syahrul mengingatkan bahwa kebijakan mengenai impor tidaknya suatu komoditi hortikultura bukan sepenuhnya berada di kementerian pertanian, melainkan ada juga di sejumlah kementerian lainnya.

Syahul mengaku ingin memaksimalkan kemampuan dalam negeri. Jika memang sangat terbatas, baru peluang impor itu dibuka.(ars)