Universitas Yarsi Tetapkan Rika Yuliwulandari Sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran

• Thursday, 19 Dec 2019 - 23:58 WIB

JAKARTA - Universitas Yarsi mengukuhkan Prof. dr. Hj. Rika Yuliwulandari, M.Hlt.Sc.,Ph.D, sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran, Universitas Yarsi.

Pengukuhan jabatan dilaksanakan Auditorium Ar Rahman Menara Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, hari ini, Kamis (19/12/2019), oleh Ketua senat akademik Universitas Yarsi, Prof. Dr. Hj. Qomariyah, MS, PKK dan disaksikan oleh Rektor Prof. Dr. H. Fasli Jalal, Phd. serta dihadiri ribuan dosen dan mahasiswa.

Rika memberikan pidato pengukuhan berjudul pencegahan penyakit berbasis farmakogenomik di era kedokteran presisi untuk memperkuat kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional. Menurutnya, mencegah lebih baik daripada mengobati

"Ada suatu alasan yang kuat dalam benak saya untuk mengangkat tema tersebut dalam buku pengukuhan ini. Sesuai dengan tema Hari Kesehatan Nasional dan tema Hari Kemerdekaan Indonesia 2019, maka generasi yang sehat akan menghasilkan sumber daya yang unggul yang pada akhirnya membawa Indonesia menjadi negara yang unggul pula," tegas Rika

Ìa menjelaskan, untuk menghasilkan generasi yang sehat, harus ditunjang dengan system kesehatan nasional yang baik yang berpihak pada kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang mampu yang mempunyai keterbatasan secara ekonomi. Kondisi sakit membutuhkan biaya yang mahal untuk pengobatan, yang pada akhirnya membebani ekonomi nasional. Semakin banyak rakyat yang sakit, semakin lemah kondisi ketahanan suatu bangsa.

"Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya agar masyarakat tidak sampai sakit, atau kalau sudah terlanjur sakit dapat diobati dengan benar sehingga tidak bertambah parah dan cepat sembuh. Salah satu pendekatannya adalah dengan tailor made disesuaikan dengan keunikan atau keistimewaan dari tiap individu/sub kelompok populasi, sehingga dihasilkan strategi pencegahan ataupun pengobatan penyakit yang tepat dan presisi. Itulah goal dari Kedokteran Presisi," tambahnya.

Menurut Rika, ada 3 pihak yang bertanggungjawab terhadap pencegahan penyakit, yaitu negara, tenaga kesehatan dan masyarakat itu sendiri.

"Pertama, negara harus hadir. Pihak kedua yang ikut bertanggungjawab adalah tenaga kesehatan. Pihak ketiga adalaha masyaakat itu sendiri," katanya.

Sedangkan mengenai farmakogenomik di era kedokteran presisi, Rika menjelaskan bahwa, kedokteran presisi bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan dengan keputusan terhadap pemilihan terapi disesuaikan dengan kondisi individu pasien. Farmakogenomik merupakan cabang ilmu Farmakologi dan bagian dari Kedokteran Presisi yang mempelajari bagaimana genom mempengaruhi respon seseorang terhadap obat.

Ia mengaku, pemeriksaan genetik ini masih relatif baru dalam menunjang pengobatan kepada pasien. Namun demikian perlu disadari bahwa bidang ini berkembang dengan sangat cepat, terutama di negara lain di luar Indonesia.

"Negara tetangga kita Thailand, Singapura dengan sigap mengadop dan mengimplementasikan kemajuan pemeriksaan genetik ini di pelayanan kesehatan mereka untuk meningkatkan keberhasilan terapi dan mencegah terjadinya efek samping ataupun penyakit lain yang lebih serius. Saat ini, menurut US FDA, terdapat lebih dari 200 obat telah mendapatkan label informasi biomarker farmakogenomik per Juni 2019 yang dapat digunakan sebagai panduan penerapan personalized precision medicine pada pasien," ujarnya.

Tantangannya adalah kapan pemeriksaan farmakogenomik dilakukan. Karena menurutnya, secara umum pemeriksaan farmakogenomik dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu preemptive dan postemptive. Pada pendekatan preemptive pemeriksaan dilakukan sebelum dokter meresepkan obat. Hal ini dapat dioptimalkan untuk program pencegahan timbulnya efek samping obat maupun mencegah kesalahan memilih obat dan menentukan dosis obat yang sesuai untuk pasien.

Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan postemptive atau reactive, dimana seorang dokter atau klinisi melakukan permintaan pemeriksaan farmakogenomik hanya setelah terjadi suatu situasi yang khusus pada pasien dimana setelah mendapatkan pengobatan pasien mengalamai reaksi khusus baik reaksi yang berlebihan maupun reaksi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

"Dalam Kedokteran pencegahan, tentu saja pemeriksaan genetik yang bersifat preemptive lebih memberikan manfaat baik dari sisi keamanan pasien maupun dari sisi penghematan biaya kesehatan," tambahnya.

Ia juga mengajak semua pihak untuk mengembangkan budaya belajar dan meneliti, mengembangkan kemampuan akademik secara terus-menerus agar dapat berkontribusi untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain serta untuk kesejateraan umat.

"Kemampuan akademik saja belumlah cukup. Pengembangan mental spiritual justru menjadi landasan terpenting yang harus dibangun dengan sangat kokoh agar dapat menghasilkan insan yang kuat yang mampu menghadapi berbagai tantangan zaman," kata Rika.

Selain itu, memanfaatkan perkembangan teknologi, media komunikasi untuk terus menebarkan paradigma mencegah lebih baik daripada mengobati.

"Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk dapat terus beramal dan mengabdikan diri dan ilmu kita untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia tanpa membedakan latar belakang apapun," mengakhiri. (ANP)