Perda KTR Bogor Dinilai Bertentangan Dengan Peraturan Pemerintah

• Thursday, 13 Feb 2020 - 13:25 WIB

Jakarta - Para pedagang tradisional wilayah Bogor kini menunggu keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan gugatan uji materi (Judicial Review) Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok Kota Bogor (Perda KTR) No.10/2018. Perda tersebut merupakan perubahan atas Perda No.12/2009 dan menjadi salah satu regulasi yang bermasalah sehingga penerapannya menuai pro dan kontra.

Salah satu poin krusial yang merugikan pedagang dan perlu diuji materi yakni terkait larangan pemajangan produk rokok. Poin ini tercantum dalam pasal 16 Ayat 2 Perda KTR Nomor 10 Tahun 2018.

Larangan dan pembatasan yang dimuat dalam Perda KTR Kota Bogor tersebut menggambarkan kewajiban yang harus dipenuhi, baik oleh pedagang maupun konsumen. Di sisi lain, seharusnya kewajiban perlu diimbangi dengam realisasi tanggung jawab oleh Pemkot Bogor.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai Perda KTR Bogor merupakan contoh produk hukum yang buruk. Trubus mengatakan hal yang positif upaya uji materi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Bogor Nomor 10 Tahun 2018 di Mahkamah Agung. 

Menurut Trubus, larangan yang tertera pada pasal 16 Perda KTR Bogor No 10 Tahun 2018 merugikan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas terkait suatu produk.

Trubus berharap MA dapat mengabulkan permohonan para pedagang untuk membatalkan beberapa pasal dalam Perda KTR Bogor. Setelah itu, Perda KTR Bogor perlu dikaji dan dievaluasi kembali dengan melibatkan masyarakat agar tidak ada satu pasal pun yang merugikan masyarakat. 

“Bogor ini tidak boleh membuat aturan sendiri yang berbeda dengan peraturan di atasnya. Harusnya semua harus sinkron, karena idealnya semua aturan harus diharmonisasi,” tegas Trubus dalam diskusi dengan tema 'Uji Materi Perda KTR Bogor dan Kepastian Investasi Di Era Jokowi' di Hotel Mercure Cikini, Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Gugatan dilakukan, karena kebijakan tersebut memuat larangan pemajangan rokok di tingkat ritel. Padahal, (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, masih memperbolehkan pemajangan produk.

Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pelarangan pemajangan produk di tingkat ritel bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan. Dalam PP ini, pemajangan produk dan promosi masih diperbolehkan.

Pelarangan ini juga sesunggahnya bertentangan dengan semangat omnibus law, khususnya RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, yang memudahkan investasi. (Faz)