Melihat Omnibus Law Dari Sudut Pandang Akademis

• Saturday, 28 Mar 2020 - 15:48 WIB

JAKARTA - Prediksi Joko Widodo memprediksi hukum telah membuat investasi tidak menarik. Regulasi bertumpuk. Birokrasi berbelit. Waktu mengurus perizinan mengular. Obesitas regulasi menimbulkan dampak serius. Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta. Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara. Dalam laporan tahun 2019, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96. Omnibus Law hadir menjadi terobosan untuk menjawab dua hal sekaligus, yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Raden Muhammad Mihradi mengatakan, RUU Omnibus Law sebenarnya mengambil konsep hukum di negara-negara common law, dimana Indonesia menganut sistem civil law, sehingga wajar jika masyarakat Indonesia agak kurang akrab dengan omnibus law walaupun memang Indonesia sudah memiliki UU yang serupa.

"Pada prinsipnya, omnibus law adalah satu undang-undang yang mengatur beberapa kepentingan luas yang serupa," tegas Raden Muhammad Mihradi, dalam keterangan terulis, Sabtu (28/3/2020) .

Menurutnya, dari segi hukum, UU model omnibus law adalah barang baru bagi Indonesia. Hal ini harus diterima masyarakat sebagai bentuk terobosan hukum untuk menjadikan masa depan Indonesia semakin maju. Adapun beberapa catatan diantaranya adalah pertama, ada semangat yang baik dan bagus dalam mengefisiensi keluhan investor untuk menanamkan investasi di Indonesia.

"Semangat Presiden Joko Widodo membuat terobosan omnibus law sayangnya tidak linear saat dimasukkan dengan teknis omnibus law. Salah satu diantaranya, terlalu banyak materi dalam omnibus law yang disinggung, seperti UU tentang pers, UU tentang kesehatan, dan lainnya, yang sebenarnya tidak langsung berkenaan dengan investasi," katanya.

Kedua menurut Raden Muhammad Mihradi, ada terobosan yang menjadi masalah, dimana PP bisa menggeser UU. Secara umum, hukum di Indonesia tidak memberikan peluang dimana PP bisa mengganti atau menggeser UU. Ketiga, Presiden Joko Widodo sepertinya gelisah, karena ketika Pilkada berlangsung serentak, menjadikan hubungan antara pusat dan daerah seperti terputus. Disatu sisi, Kepala Daerah merasa sebagai sosok independen dari pemerintah pusat karena telah dipilih oleh rakyat di daerahnya. Hal ini dikuatkan dengan keluhan BKPM bahwa ada kepala daerah yang tidak mengikuti instruksi Presiden tentang investasi.

"Permasalahan utama adalah ada konfigurasi politik yang berbeda antara pusat daerah, sehingga perintah presiden bisa diterjemahkan berbeda. Dengan demikian, Presiden Joko Widodo mencoba untuk menarik perijinan yang diatur pemerintah daerah, ditarik menjadi wewenang pemerintah pusat," tambahnya.

Ia menjelaskan, semangat reformasi adalah desentralisasi kekuasaan, dimana kewenangan dibagi antara pusat dan daerah. Jika peraturan perijinan daerah ditarik ke ranah pemerintah pusat, maka akan timbul perdebatan tentang sistem desentralisasi yang menjadi ruh dari refromasi. Masukan kalangan akademisi kepada pemerintah adalah, dalam melakukan sosialisasi omnibus law, pemerintah seharusnya melakukan secara bertahap. Pertama yaitu memberikan paradigma ke masyarakat bahwa omnibus law akan berkomitmen pada demokrasi. Kedua, pemerintah pusat akan membuat komitmen pada pemerintah daerah, dan ketiga, pemerintah pusat dan daerah akan menjalankan komitmen pada penegakan hukum. Selanjutnya, bisa teruskan pada perumusan pasal yang dilakukan secara tehnis.

"Omnibus law didominasi oleh pasal yang mengatur pada perijinan. Ada dilema dimana Pilkada yang tidak sehat, maka perijinan dijadikan sarana menunjang pemenangan, meski tidak selalu," kilahnya.

Raden Muhammad Mihradi menegaskan, solusi utama masalah tersebut tidak berarti harus mencabut seluruh kewenangan perijinan yang dikelola pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

"Sesuai dengan semangat akademis, permasalahan tersebut sebaiknya diselesaikan dengan mengedepankan demokrasi ekonomi yang berjalan sehat, yang linear dengan penegakan hukum terhadap perijinan yang tidak benar, dan terhadap oknum-oknum yang bermain dalam perijinan," ujarnya. (ANP)