Kebijakan Tangani Covid19 Tidak Sinkron, TIDI: Berpotensi Membingungkan Nakes dan Daerah

• Thursday, 2 Apr 2020 - 14:08 WIB

Jakarta - The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) membuat lima catatan utama terhadap PP 21/2020, Perpu 1/2020, dan Keppres 11/2020 yang dikeluarkan Pemerintah pada 31 Maret 2020. Analis Kebijakan Publik, Jalu Priambodo mengatakan, istilah Pembatasan Sosial Berskala Beşar hanya judul, tapi porsi terbesar bukan pada langkah yang berorientasi penanganan COVİD-19. "Antara PP, Perpu, dan Keppres tidak sinkron, malah yang ada agenda politik-ekonomi non-kesehatan yang masuk melalui momen krisis kesehatan COVİD-19 ini," kata Jalu.

Menurut Jalu ada lima catatan utama hasil kajian dan analisa lintas disiplin dari para pakar TIDI bidang hukum tata negara, kedokteran, dan ekonomi anggaran.

Jalu menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam kebijakan penyelamatan keselamatan warga,
"Pertama, PP ini terkesan Status Quo, karena hanya formalitas dari yang telah berjalan. Solusi yang diharapkan TIDI adanya pemetaan zona episenter COVİD-19 dengan agenda yang terukur waktu dan kewenangannya," ujarnya.

Catatan kedua, lanjut Jalu, tahun 2009 sebenarnya sudah ada Kepmenkes yang bagus, tentang opus penanganan wabah, terstruktur. "Tapi sekarang kita buat langkah yang sama sekali tidak terstruktur dan mengacu pada opus itu," sesalnya.

TIDI melalui Jalu mengatakan langkah penanganan ancaman COVİD-19 yang diharapkan warga untuk muncul justru direspon dengan kebijakan alokasi anggaran demi stabilitas ekonomi yang tidak langkah strategis berbasis wilayah episenter penyebaran COVİD-19. "Kedua, tidak ada pembahasan langkah penanganan ancaman COVİD-19 terhadap kesehatan masyarakat, lemah peran dan parameter, termasuk pola penanganan ODP, PDP, Suspect, Positif secara efektif tidak masuk. TIDI rekomendasinya agar persoalan penanganan warga sistematis, musti diterapkan hospital oriented based approach dan rayonisasi," tegasnya

Jalu juga memberikan catatan ketiga   jangan sampai penetapan status darurat tidak nyambung dengan langkah penyelamatan warganya. "Perpu kok lebih ke stabilitas ekonomi, ini tidak sinkron dengan PP dan Keppres. Relatif karet secara waktu ataupun tema. Mustinya kan koheren, program ekonomi untuk buffer ketahanan ekonomi warga berbasis zona episenter COVİD-19," sambung Jalu.

Jalu kemudian mengurai analisanya soal alokasi anggaran yang mis-match dengan agenda pemenuhan kebutuhan rakyat kecil. "Catatan keempat, terlihat porsi untuk industri dan insentif pajak sangat menonjol dibanding penyelamatan kebutuhan rumah tangga warga. Besaran anggaran untuk basis masyarakat ekonomi rentan tidak terlalu menonjol. Justru lebih ke kelompok industri dan terlihat ada agenda Omnibus Law Pajak masuk ke dalam agenda di masa krisis COVİD-19. Solusi yang diharapkan: Warga menengah bawah menjadi prioritas, anggaran musti segera cair, dan jangan ada agenda terselubung Omnibus Law Pajak di tengah krisis COVİD-19," urai Jalu.

Sementara Jalu juga menyebutkan bahwa daerah akan tetap kebingungan dengan ketidaksinkronan ini. "Catatan kelima kami, konsekuensi bagi daerah akan bertambah komplikasi, mulai dari perizinan langkah penetapan status, sampai dng kondisi riil kekuatan APBD dengan PAD 3 bulan terakhir yang anjlok untuk merespon krisis COVİD-19. Solusi yang diharapkan TIDI adalah refocusing dengan agenda extreme social distancing measure mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah pusat, terutama di daerah episenter penyebaran COVİD-19," pungkas Jalu Priambodo. (Jak)