Sengkarut Program Jaring Pengaman Sosial, Saatnya Presiden Turun Orkestrakan Semua Lini

Mus • Saturday, 9 May 2020 - 09:04 WIB

Jakarta - 110 triliun rupiah dialokasikan pemerintah untuk program Jaring Pengaman Sosial dalam penanggulangan Covid-19 agar masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Apakah program ini telah tepat sasaran? "Program ini telah gagal memenuhi tujuannya," lugas Enny Sri Hartati, Peneliti Senior Institute of Development and Financial (INDEF), dalam diskusi daring bertajuk "Menakar Program Jaring Pengaman Sosial Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19 yang diselenggarakam NP Center, Kamis, (7/5).

"Kegagalan tersebut terjadi karena pemerintah terlambat. Terlambat  mengantisipasi, terlambat melawan dan terlambat mitigasi pandemi Covid-19," sesal Enny.

Hal senada disampaikan Netty Prasetiyani, Ketua Tim Covid-19 F-PKS DPR yang menilai respon lambat pemerintah ini kemudian menghasilkan banyak dampak sosial di masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan, hingga kekerasan.

Selain itu, lanjut Netty, banyak sengkarut dalam program JPS. "Sengkarut  data penerima bantuan, bermasalah dalam proses pendistribusiannya, persoalan kebijakan yang berubah-ubah hingga muncul program aneh Kartu Pra Kerja serta program listrik gratis yang ternyata tidak bisa dinikmati masyarakat kelas bawah," katanya dalam forum yang sama.

Soal sengkarut data penerima bantuan disoroti oleh kedua narasumber yang menilai sebagai persoalan koordinasi dan integrasi antar instansi yang tidak kunjung usai.

"Pemerintah menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial sebagai basis data pembagian bantuan, tetapi kemudian jajaran RT dan RW  diinstruksikan melakukan pendataan  pembaharuan. Hasilnya ada perbedaan data yang menjadi akar permasalahan baru, yaitu data tidak sinkron dan atau data membengkak karena pertambahan jumlah masyarakat kelas bawah sebagai imbas pandemik. Konflik di masyarakat pun terjadi karena bantuan dinilai tidak tepat sasaran serta jumlah bantuan  yang ada tidak mencukupi kebutuhan," papar Netty.

Berdasarkan penelitian INDEF, dalam triwulan pertama 2020, telah terjadi penurunan konsumsi rumah tangga di kalangan masyarakat bawah hingga 43 persen. Ini artinya kemampuan daya beli mereka sudah sangat drop. Berbeda dengan kelompok atas yang tidak terpengaruh  dan kelas menengah yang relatif masih bisa makan tabungan. "Jadi, kondisi kelas bawah ini memprihatinkan sekali. Jika JPS gagal, maka hidup mereka berada di dua pilihan: meninggal karena Covid-19 atau meninggal karena kelaparan," paparnya.

Oleh karena itu jangan sampai pemerintah menjadikan tubuh orang miskin sebagai legalisasi pencairan anggaran bansos, namun dalam pelaksanaannya mereka justru tidak mendapatkan bantuan tersebut," sindirnya.

Netty dan Enny sepakat bahwa anggaran 110 trilyun  gagal melindungi masyarakat. "Banyak ditemukan pelanggaran pada perencanaan dan pelaksanaannya. Sebut saja penentuan vendor kartu Pra Kerja yang cacat dan tidak tepat sasaran,  pendataan yang buruk, sampai distribusi yang menimbulkan gesekan di masyarakat," tegas Netty.

Kerawanan bantuan sosial ini terjadi karena adanya conflict of interest karena  alasan politis. "Kepentingan politik dapat saja membuat sesuatu dikemas media menjadi baik dan lancar. Tapi persoalan ekonomi tidak bisa dibaca dari data-data distribusi bantuan. Selama secara riil rakyat kesulitan, rakyat menjerit, rakyat kelaparan, betapa pun bagus data statistiknya, tetap saja program dinilai gagal," tandas Enny.

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan diskusi, Netty dan Enny menyepakati untuk dilakukan beberapa upaya perbaikan program JPS. Tujuannya, agar  anggaran JPS sebagai hasil realokasi dan refocusing APBN ini sesuai dengan namanya: melindungi dan menyelamatkan hidup rakyat Indonesia dari imbas pandemi Covid-19.

Pertama, kata Enny, pastikan pengawasan dilakukan dengan benar. "Tidak cukup lagi pengawasan dari DPR RI, DPRD, atau Aparat Penegak Hukum. Harus pengawasan melekat. Misalnya, penggunaan label penanda penerima bansos, dalam kondisi tidak normal saat ini adalah sebuah alternatif terobosan yang bisa dilanjutkan. Jadi kalau ada orang mampu menerima bantuan, dia mesti malu saat rumahnya ditempeli label bansos," kata Enny. 

Libatkan juga masyarakat sipil yang selama ini tanpa komando pemerintah sudah turun bergotong royong membantu warga terdampak, katanya. Netty mengingatkan perlunya koordinasi dan integrasi antar instansi juga pusat dan daerah sebagai langkah kedua. "Harus satu kata dan wacana. Jangan saling silang pernyataan yang membuat rakyat bingung, bahkan marah," tandas Netty.

Ketiga, Enny menyarankan agar dilakukan refocusing skema JPS. "Kalau bicara siap tidak siap, tidak ada negara yang siap dengan serangan Covid-19. Bicara cukup atau tidak cukup, kita tidak akan tahu apakah mencukupi atau  tidak. Sebab kita juga tidak tahu, ini sampai kapan. Pasti berat," katanya. Oleh karena itu, lanjut Enny, dari alokasi yang tersedia, fokus saja pada program penyelesaian akar persoalan, yaitu masalah penanganan  kesehatan.

"Setelah itu, pastikan rakyat bisa survival dengan jaminan kebutuhan pokok. Ini tugas utama negara. Skema program ekonomi akan percuma saja jika dua hal utama tadi masih belum diselesaikan," tandasnya.

Sebagai langkah keempat, Enny meminta agar stuktur Gugus Tugas Covid-19 ditinjau ulang. "Beban Ketua BNPB terlalu berat. Harus ada pemilahan dan pembagian tugas sesuai bidang penanganan," ujarnya.

Menariknya dalam diskusi ini mencuat keinginan narasumber dan peserta agar semua pihak mengesampingkan ego sektoral, meniadakan dikotomi pusat daerah serta dikotomi koalisi oposisi. "Saatnya kita bersatu, bangun gotong royong dan kebersamaan dan gerakkan seluruh masyarakat untuk terlibat dalam penanganan Covid-19. Ini adalah tanggung jawab negara, tanggung jawab Presiden sebagai pemegang otoritas eksekutif tertinggi. Saatnya Presiden memimpin orkestra simponi JPS ini dengan baik. Terintegrasi setiap sektor dan jenjangnya serta memastikan bebas dari moral hazard," ujar Netty.(Jak)