Pertaruhan New Normal di Tengah Pandemi

Mus • Thursday, 11 Jun 2020 - 20:32 WIB

Jakarta - Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menilai langkah pemerintah mendorong adopsi normal baru adalah sebuah ketergesa-gesaan. Pasalnya meski implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 4 provinsi dan 72 kabupaten-kota mampu menekan tingkat penyebaran Covid-19, namun pandemi jelas belum tertanggulangi, bahkan kerap mencetak rekor penambahan kasus harian.

Sebelum implementasi PSBB (2 Maret-5 April) penambahan kasus harian rata-rata 65 kasus. Bulan pertama pasca PSBB (6 April-5 Mei) angka ini meningkat tajam rata-rata 327 kasus dan bulan ke-dua pasca PSBB (6 Mei-5 Juni) semakin melonjak rata-rata 563 kasus.

“Dengan kapasitas pengujian (testing) yang masih rendah, penambahan kasus diperkirakan masih akan tinggi, bahkan mungkin melonjak. Dengan baru menguji 0,09 persen penduduknya, kasus positif Covid-19 Indonesia telah menembus 34 ribu kasus, maka membuka kembali aktivitas ekonomi dan interaksi sosial adalah sebuah eksperimen yang sangat berbahaya,” kata Yusuf Wibisono, di Tangerang Selatan, Kamis (11/06/2020).

Yusuf menambahkan jika kapasitas pengujian Indonesia setara Brazil yang telah menguji 0,31 persen penduduknya, dengan rasio kasus per pengujian yang sama, kasus riil Covid-19 berpotensi hingga 98 ribu kasus. Jika kapasitas pengujian setara Malaysia (1,15 persen) atau Turki (1,78 persen), kasus riil berpotensi menembus 367-569 ribu kasus.

IDEAS memahami argumen umum yang mendasari “new normal” yang sangat beresiko ini adalah kebutuhan tinggi untuk “menyelamatkan perekonomian”, mencegah kebangkrutan bisnis, menekan pengangguran dan menahan kemiskinan massal. Kejatuhan ekonomi yang besar di kuartal I 2020 dan pelaksanaan PSBB sepanjang April-Mei terutama di tiga metropolitan pusat ekonomi nasional (Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya), telah membuat pemerintah berkeras untuk mengadopsi normal baru di bulan Juni demi mencegah kerusakan ekonomi yang lebih masif.

Namun ini adalah paradigma yang keliru tentang kebijakan ekonomi di masa pandemi. New normal secara jelas meningkatkan aktivitas ekonomi, sedangkan penanggulangan pandemi mengharuskan penurunan interaksi sosial. Maka, mempromosikan ekonomi di tengah pandemi sama dengan membunuh nyawa lebih banyak. Tiada artinya perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi jika hal itu akan membahayakan.

“Pertumbuhan ekonomi hanyalah alat, tujuan akhir yang harus dikejar adalah kualitas dan kebahagiaan hidup masyarakat, dimana faktor terpenting yang berkontribusi untuk itu adalah tetap hidup, tidak mati karena pandemi,"  tutur pimpinan Lembaga Riset tersebut dengan penuh penegasan.

Menurut Yusuf Wibisono, ketika pandemi yang masih jauh dari mereda, maka memaksakan adopsi new normal adalah sebuah pertaruhan besar yang berpotensi menjadi ledakan wabah ke-dua.

“Kekhawatiran akan ledakan wabah ke-dua dari new normal sangat beralasan. Jika dengan PSBB saja pandemi belum mereda, terlebih lagi tanpa PSBB. Ditambah pada bulan Juni ini kita juga masih menanti kepastian apakah terdapat lonjakan kasus dari lebaran dan mudik, terkait lamanya waktu pelaporan dari pengujian specimen,” ucap Yusuf.

Tanpa ledakan wabah saja, case fatality rate (CFR) Indonesia saat ini sudah di kisaran 6 persen. Jika kematian PDP dan ODP turut diperhitungkan, CFR Indonesia bahkan berpotensi menembus 15 persen, setara dengan negara-negara yang kini paling keras dihantam Covid-19 seperti Perancis, Belgia, Italia dan Inggris.

“Jika dengan new normal kemudian eskalasi ledakan wabah kedua menjadi tak terkendali, sistem kesehatan dipastikan akan tumbang dan korban jiwa akan menjadi sangat besar. Maka menjadi sangat mahal biaya yang harus dibayar dari new normal di tengah pandemi meski diiringi protokol kewaspadaan dan kebijakan rem darurat (emergency brake policy) sekalipun, karena nyawa yang hilang tidak akan bisa dipulihkan kembali,” tutup Yusuf Wibisono. (Mus)