Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan Jadi Kekuatan Diplomasi

ANP • Monday, 22 Jun 2020 - 11:35 WIB

JAKARTA - Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) mengadakan serangkaian acara seminar daring (webinar) untuk memperingati ulang tahun yang ke-4. Webinar kali ini adalah webinar kedua yang dilakukan oleh PYC dan disiarkan langsung melalui saluran YouTube resmi PYC pada hari Sabtutanggal 20 Juni 2020 pukul 13.00-15.00 WIB.

Tema webinar ini adalah Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi dengan tiga orang narasumber yaitu Jendral TNI (Purn.) Dr. Moeldoko (Panglima TNI 2013-2014 & Wakil Gubernur Lemhannas 2011-2013), Muhammad Lutfi (Menteri Perdagangan 2014 & Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Micronesia 2010-2013), dan Andi Widjajanto, Ph.D. (Dosen FISIP UI & Menteri Sekretaris Kabinet Kerja 2014-2015), serta berperan sebagai moderator adalah Dr.Alexander Wibowo (Dewan Pengawas PYC dan juga Dosen Hukum Universitas Pelita harapan).

Acara diawali dengan sambutan singkat oleh chairperson PYC, Filda C. Yusgiantoro, Ph.D,yang juga mengumumkan pemenang lomba “PYC 4th Anniversary Paper Competition 2020” dan menginformasikan wajah baru website PYC (https://www.purnomoyusgiantorocenter.org/).

Pendiri PYC & Pionir Universitas Pertahanan Indonesia, Prof. Purnomo Yusgiantoro, Ph.D. menyinggung bahwa saat ini situasi geopolitik di Laut Cina Selatan semakin panas. Ada tiga kapal induk dari Amerika Serikat yang diturunkan dan Cina sendiri juga telah menggelar beberapa kapal perang. Situasi seperti ini hendaknya diselesaikan dengan soft power atau dengan jalan diplomasi. Indonesia sebenarnya tidak terlibat langsung seperti enam negara yang berkonflik mengenai wilayah kedaulatan. Namun, kita dekat sekali dengan dengan wilayah yang bersinggungan. “Seperti kita ketahui di Laut Natuna terdapat lapangan gas terbesar di pasifik. Pemerintah mulai mengantisipasi dengan hard power, gelar kekuatan pertahanan di Laut Natuna,” kata Purnomo.

Sementara itu Mantan Panglima TNI Moeldoko, mengawali paparannya dalam webinar ini adalah opini pribadi beliau didasari pengalaman dan pengetahuannya sebagai mantan panglima TNI, bukan sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Ia kemudian merekonstruksi sejarah perang dunia ke-II yang kemudian dikaitkan dengan keadaan konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.

Sedangkan Muhammad Lutfi mengatakan, bahwa dengan politik bebas aktif, Indonesia memiliki nilai tambah tersendiri dengan memanfaatkan peran diplomasi. Indonesia bisa tetap netral dengan mengedepankan dialog dan keterbukaan. “Posisi Indonesia menjadi Center of Gravity karena tidak memilih salah satu konsep Open and Free Indo Pacific dari Amerika Serikat ataupun Belt Road Initiative dari Cina,” ujarnya.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Andi Widjajanto yang menjelaskan kondisi di Laut Cina Selatan dilihat dari 3 variabel, yaitu modernisasi persenjataan, keamanan energi, dan transisi hegemoni.

Pada akhir acara, Alexander Wibowo, selaku moderator, menyimpulkan paparan ketiga narasumber dan peran Indonesia pada konflik ini. Indonesia memiliki posisi yang strategis karena baik Amerika Serikat maupun Cina sangat membutuhkan peran Indonesia.

“Indonesia dapat mengambil keuntungan dengan meningkatkan investasi melalui pendekatan diplomasi khususnya diplomasi energi untuk meningkatkan keamanan dan ketahanan energi Indonesia, secara khusus, pengelolaan energi di wilayah perbatasan Indonesia seperti di Natuna,” tambahnya. (ANP)