LAZ Siap Bertransformasi ke Era

AKM • Monday, 29 Jun 2020 - 14:08 WIB

Jakarta- LAZ Siap Bertransformasi ke Era Digital Hasil riset kolaborasi Forum Zakat (FOZ) dan Filantropi Indonesia (FI) menunjukkan bahwa LAZ (Lembaga Amil Zakat) siap untuk masuk ke era digital. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berdampak positif pada kinerja LAZ dan pengelolaan zakat. Namun, perolehan dana zakat yang digalang melalui platform digital masih kecil dibanding metode konvensional. Hal itu disebabkan kapasitas masyarakat masih rendah dan belum terbiasa menyalurkan zakat secara digital.

Temuan-temuan riset itu disampaikan pada konferensi pers diseminasi hasil riset “Kesiapan LAZ Dalam Menghadapi Era Digital” yang digelar di jakarta, senin siang (29/6). Acara tersebut menghadirkan Erna Witoelar (Co-Chair Badan Pengarah FI), Bambang Suherman (Ketua Umum FOZ) dan Hamid Abidin (Direktur Eksekutif FI) sebagai narasumber. Riset dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, serta melibatkan 104 LAZ dan para stakeholder kunci gerakan zakat Indonesia. Hamid Abidin menyatakan bahwa riset ini dilakukan sebagai bentuk komitmen FI dan FOZ dalam memajukan sektor filantropi, khususnya filantropi Islam di indonesia. Topik riset sangat relevan karena pesatnya perkembangan TIK mengharuskan semua pihak, termasuk Lembaga Amil Zakat, untuk menyiapkan diri dalam memasuki era digital. Tuntutan ini menemukan momentumnya saat pandemi COVID-19melanda Indonesia yang memaksa pembatasan interaksi secara langsung dan mendorong sebagian besar aktivitas beralih ke dunia maya atau digital. Dalam presentasi hasil penelitian, Bambang Suherman memaparkan bahwa LAZ (Lembaga Amil Zakat) sudah siap dalam memasuki era digital. Kesiapan tersebut dilihat dari beberapa indikator, yakni kesiapan Lembaga, kesiapan SDM, kesiapan informasi dan Kesiapan infrastruktur TIK.

“Hasil riset menunjukkan mayoritas pengelola LAZ (78%) menyatakan kesiapannya bertransformasi ke era digital. Kesiapan itu tercermin dari pandangan mereka bahwa penggunaan TIK sangat penting (84%) dan mendukung (88%) pengelolaan ZIS (zakat, infaq dan shodaqoh). Keseriusan juga terlihat dari jumlah LAZ yang memiliki akses internet di kantor (96%) dan mengelola kanal media digital (97%). Mayoritas LAZ juga memiliki SOP (standart operational procedure) yang mengatur penggunaan platform digital dalam pengelolaan ZIS,” kata Bambang

Terkait kesiapan SDM, lanjut Bambang, hasil riset menggambarkan bahwa mayoritas amil LAZ punya kapasitas dalam memanfaatkan platform digital. Kesiapan SDM LAZ juga dilihat dari eksistensi divisi IT yang ada di sebagian besar LAZ (63%). Bahkan, 54% dari LAZ yang jadi responden secara khusus memiliki divisi digital marketing.

“Para pengelola LAZ juga menaruh perhatian terhadap pengembangan kapasitas digital amil. Hal ini ditunjukkan oleh 69% LAZ yang mengembangkan program peningkatan kompetensi amil digital, sementara yang mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan SDM mencapai 86%,” katanya.

Bambang menambahkan bahwa riset ini juga mengkaji dampak pemanfaatan TIK yang telah merubah pola interaksi dan transaksi masyarakat, termasuk dalam pembayaran zakat. Perubahan ini mendorong 98% LAZ untuk mengembangkan berbagai inovasi digital, seperti pengembangan web (93%), pemanfaatan kanal sosial media (99%) dan platform crowdfunding (17,3%) untuk pengelolaan ZIS.

“Selain itu, LAZ juga berinovasi dengan berpromosi melalui kanal digital (80%), mengontrak influencer (29%) dan membayar ads/iklan digital (78%). Sementara untuk penyaluran dan pendayagunaan ZIS, platform digital secara umum berdampak positif dalam mempermudah, mempercepat, memperluas cakupan program dan layanan LAZ,” jelasnya.

Namun, menurut Hamid, jumlah dana Zakat yang digalang dengan memanfaatkan platform digital ini belum sebesar yang dikumpulkan secara konvensional. Hasil analisis tim peneliti terhadap 104 LAZ pada periode 2016 – 2018 menunjukkan bahwa perolehan dana ZISWAF (Zakat, Infak, Shodaqoh dan Wakaf) masih didominasi oleh pengumpulan secara konvensional. Sebagai perbandingan, hasil penggalangan ZISWAF secara konvensional mencapai Rp 2,15 triliun, sementara yang tergalang melalui metode digital hanya Rp 155 miliar. Artinya, baru 6,74% yang tergalang melalui platform digital.

 “Beberapa tantangan lainnya terkait kualitas jaringan internet yang buruk (khususnya bagi LAZ di daerah), pemadaman listrik, serta biaya internet yang relatif mahal. Selain itu, maraknya kejahatan siber juga perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh LAZ, seperti manipulasi data, gangguan sistem, peretasan sistem elektronik, pencurian data, akses ilegal, penipuan online, dan sebagainya.” Kata Hamid

Sementara, Erna Witoelar mengharapkan pemanfaatan platform digital di kalangan LAZ bisa mendorong program-program penyaluran dan pendayagunaan ZIS lebih berkembang dan inklusif. Saat ini program-program penyaluran dan pendayagunaan ZIS, menurut Erna, perkembangannya tidak sepesat program-program penggalangan ZIS yang penuh terobosan dan inovasi. Selain itu, pemanfaatan platform digital juga diharapkan bisa meningkatkan peran dan kontribusi LAZ dalam pencapaian SDGs (Sustainable development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.

“Pemanfaatan platform digital bisa mendukung LAZ dalam menjalankan prinsip-prinsip SDGs, yakni universal, integration dan no one left behind. Platform digital bisa membantu LAZ berkomunikasi dan bersinergi dg banyak pihak sehingga program-program yang didukung lebih universal dan inklusif. Penggunaan platform digital seharusnya bisa memfasilitasi LAZ untuk melibatkan dan berkontribusi pada kelompok-kelompok rentan,serta mereka yang ada di daerah terluar, terjauh dan terpinggir. Sehingga, program-program yang dikembangkan LAZ lebih partisipatif dan menjangkau kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan,” kata Erna. (AKM)