Perkawinan Usia Anak Bencana Nasional yang Gerogoti Ekonomi Indonesia

ANP • Thursday, 2 Jul 2020 - 18:42 WIB

Jakarta - “Sebetulnya yang namanya perkawinan usia anak juga menjadi bagian dari bencana nasional. Karena juga menggerogoti secara ekonomi, dan juga mengancam terjadinya kematian ibu, kematian bayi, stunting dan seterusnya,” tutur Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) saat membuka webinar “Pencegahan Perkawinan Anak” dalam rangka peluncuran Laporan SWOP 2020 (02/07).

Menurut Hasto, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan merupakan praktik yang melanggar hak-hak dasar anak. Anak yang menikah di bawah 18 tahun karena kondisi tertentu memiliki kerentanan lebih besar dalam mengakses pendidikan, kesehatan, sehingga berpotensi melanggengkan kemiskinan antargenerasi, serta memiliki potensi besar mengalami kekerasan. Perempuan yang menikah di usia anak juga memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat komplikasi saat kehamilan dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan dewasa, selain itu juga berpotensi pada kematian bayi.

“Praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak yang berdampak pada tumbuh kembang dan kehidupan anak di masa yang akan datang. Karena hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia sedangkan perkawinan anak merupakan pelanggaraan hak anak maka berarti perkawinan anak juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E, M.Si pada kesempatan yang sama.

Berdasarkan data UNFPA, sebanyak 33.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun akan dipaksa menikah di seluruh dunia yang biasanya dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Di Indonesia sendiri, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Saat ini, ada 1,2 juta kasus perkawinan anak yang menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dari segi angka perkawinan anak secara global.

Hasto juga menjelaskan bahwa terdapat 5 hal yang menjadi dampak negatif ketika ada perkawinan anak. Yang pertama adalah menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri. Yang kedua, pada usia anak mereka belum siap melakukan proses reproduktif karena mulut rahim pada usia anak perempuan masih ektropion menghadap keluar sehingga batas antara luar mulut rahim dan dalam mulut rahim yang apabila mengalami sexual intercourse atau hubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun maka akan menjadi initial process of servical cancer. Yang ketiga yaitu hak-hak anak juga terampas untuk mengakses pendidikan dan kehidupannya. Yang keempat juga ketika kawin pada usia anak mereka tidak punya kesempatan untuk menolak terjadinya kekerasan anak karena tidak cukup kedewasaannya bila terjadi kekerasan di dalam rumah tangga. Dan yang kelima negara memang relatif dirugikan karena secara ekonomi perkawinan anak juga merugikan hampir 1,7%, pendapatan negara bisa hilang karena perkawinan pada usia anak.

Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengubah batas usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu usia 19 tahun. Namun pada kenyataannya seseorang tetap bisa menikah meski di bawah usia yang ditentukan jika mengantongi dispensasi kawin yang dikeluarkan pengadilan agama setempat. Dispensasi ini tidak ikut direvisi dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, dimana disebutkan orangtua dapat meminta dispensasi jika ada alasan mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Dispensasi adalah kendala dalam menekan angka perkawinan anak. Sebuah studi mengungkapkan bahwa 98% orang tua menikahkan anaknya karena anak dianggap sudah berpacaran/bertunangan. Sementara itu 89% hakim mengatakan bahwa pengabulan permohonan dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua. Kurangnya informasi terhadap kesehatan reproduksi dan seksual juga membuat posisi remaja semakin rentan. Remaja sering kali tidak mengetahui akibat dari melakukan hubungan seksual yang pada akhirnya menyebabkan kehamilan tidak diinginkan serta mendorong praktik perkawinan anak.

“Praktik-praktik yang membahayakan anak perempuan mengakibatkan trauma yang mendalam dan membekas, yang merampas hak mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Kita harus mengatasi masalah ini dengan mengatasi akar-akar masalahnya, terutama norma-norma yang bias gender. Kita harus bekerja lebih baik lagi dalam mendukung upaya-upaya komunitas untuk memahami penderitaan anak perempuan yang disebabkan oleh praktik-praktik ini dan manfaat yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan dengan menghentikannya” ucap Direktur Eksekutif UNFPA Dr. Natalia Kanem.

Berbagai upaya pencegahan perkawinan anak telah dilakukan oleh BKKBN salah satunya dengan  mengembangkan Program Generasi Berencana (GenRe) untuk penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja. Melalui program tersebut, remaja diberi pemahaman tentang pendewasaan usia perkawinan, agar mereka mampu melangsungkan jenjang pendidikan, berkarier dalam pekerjaan, serta menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi. Program GenRe menyasar sekolah, kampus, dan masyarakat melalui pendirian Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) dengan pemberdayaan teman sebaya (peer group) sebagai Pendidik Sebaya (peer educator) dan Konselor Sebaya (peer counselor). Selain itu, BKKBN melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Remaja (BKR) memberikan penguatan peran orangtua/keluarga yang memiliki remaja dalam pengasuhan (parenting) kepada anak remajanya.

BKKBN juga sudah melakukan terobosan baru untuk lebih hadir di kalangan remaja dan anak-anak tentu dengan melaunching web www.siapnikah.org bekerjasama dengan Rumah Perubahan. Aplikasi ini mendapat respons positif generasi muda yang ingin mengukur kesiapannya sebelum menuju gerbang pernikahan. Website ini dikembangkan dalam konsep one stop solution yang menghadirkan berbagai konten yang relevan dengan kebutuhan generasi muda dalam mempersiapkan pernikahan, termasuk mempersiapkan diri dalam pengasuhan anak. “Harapan kami, website ini bisa menjadi rujukan bagi generasi muda untuk mempersiapkan diri sebelum masuk gerbang pernikahan, maupun bagi keluarga muda yang ingin belajar ilmu parenting. Misi utamanya, membangun keluarga berkualitas yang bercirikan tenteram, mandiri dan bahagia,” tutup Hasto.

Perekonomian dan sistem hukum yang mendukung praktik-praktik ini harus direstrukturisasi untuk menjamin kesempatan yang sama untuk setiap perempuan, menurut laporan UNFPA. Mengubah peraturan pewarisan properti, misalnya, bisa menghapuskan insentif yang kuat bagi keluarga untuk lebih memilih anak laki-laki daripada anak perempuan, dan membantu mengakhiri perkawinan anak. Perkawinan anak dan Female Genital Mutilation (FGM) bisa dihentikan dalam waktu 10 tahun dengan meningkatkan upaya-upaya agar anak perempuan bisa bersekolah lebih lama dan mengajarkan mereka keterampilan hidup, serta melibatkan laki-laki dan anak laki-laki dalam perubahan sosial. Investasi dengan nilai total $3,4 miliar setahun hingga tahun 2020 akan menghentikan dua praktik membahayakan ini dan mengakhiri penderitaan sekitar 84 juta anak perempuan, menurut laporan tersebut.

Webinar “Pencegahan Perkawinan Anak” sebagai bagian dari peluncuran Laporan SWOP 2020 yang diselenggarakan atas kerjasama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan UNFPA Indonesia. Tema Laporan SWOP Tahun 2020 ini adalah “Diluar kehendak saya: Menentang praktik-praktik yang membahayakan perempuan dan anak perempuan dan melemahkan kesetaraan”. UNFPA Representative untuk Indonesia Anjali Sen memberikan sambutan pada acara ini dan dibuka oleh Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, SpOG (K), serta keynote speech dari Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E., M.Si. Webinar ini menghadirkan Assistant Representative UNFPA Indonesia Dr. Melania Hidayat, Sekretaris Pengurus Pusat LKK Nahdlatul Ulama (NU) Alissa Wahid, penulis dan aktivis perempuan Kalis Mardiasih, Direktur KPAPO Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS, dan Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dr. Ir. Dwi Listyawardani, M.Sc., Dip. Com sebagai pembicara. Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk M. Pambudi akan memimpin diskusi sebagai moderator. (ANP)