Pengesahan RUU Ciptaker Urgent untuk Penguatan Industri dan Penciptaan Lapangan Kerja

Mus • Monday, 6 Jul 2020 - 12:33 WIB

Jakarta - Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja dapat menjadi awal yang baik untuk menjaga momentum reformasi investasi, mengingat kesulitan menarik investasi seperti menjadi sebuah masalah klasik bagi Indonesia jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19.

Demikian disampaikan Andre Surianta dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam Webinar bertajuk “RUU Cipta Kerja, Investasi, dan Ekonomi Indonesia pada Masa dan Pasca-Pandemi Covid-19,” yang diselenggarakan Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks), akhir pekan lalu.

Menurut Andre, regulasi investasi Indonesia yang kompleks dan mengalami obesitas membuat Indonesia gagal merebut peluang ketika sejumlah perusahaan multinasional mencari rantai pasokan alternatif selain Tiongkok seiring terjadinya kekacauan dalam rantai pasokan global akibat Pandemi Covid-19. Akibatnya, alih-alih menangkap peluang, target realisasi investasi Indonesia 2020 justru dipangkas dari Rp 886 triliun ke Rp 855,6 triliun, sebelum turun lebih dalam lagi menjadi Rp 817,2 triliun.

Pastinya, Andre menambahkan, krisis telah menguak berbagai kelemahan dalam sistem regulasi Indonesia. Tantangannya, apakah RUU Cipta Kerja dapat menyelesaikan masalah kompleksitas dan obesitas regulasi ini?

“Indonesia dapat belajar dari pengalaman Korea Selatan setelah krisis 1997, di mana 22.144 peraturan ditinjau, 6.134 peraturan dihapuskan, dan 5.026 peraturan diubah. Saat ini, berdasarkan basis data Peraturan.go.id, Indonesia masih dibebani oleh lebih dari 40 ribu peraturan,” kata Andre.

Sejalan dengan Andre, Direktur Riset Indeks Arif Hadiwinata menyatakan, dibutuhkan instrumen kebijakan yang inovatif untuk menghadapi resesi ekonomi. Akibat pandemi Covid-19 yang telah menggoncang rantai pasokan global, angka pengangguran melonjak tajam seiring jutaan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Angka pengangguran akan meningkat bahkan setelah pandemi berakhir, jika Indonesia tidak menderegulasi peraturan-peraturan yang selama ini menyumbat kebebasan berinvestasi dan berbisnis. Karena itu, kata Arif, RUU Cipta Kerja urgen untuk disahkan.

“RUU Cipta Kerja diperlukan untuk menjadikan ekonomi Indonesia lebih kompetitif dalam kancah global. Melalui penyederhanaan regulasi investasi dan bisnis dalam RUU Cipta Kerja, negara-negara lain akan lebih tertarik untuk berbisnis dan menanamkan modalnya di Indonesia, yang sangat dibutuhkan untuk memajukan industri dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja sektor formal. Sebaliknya, jika RUU Cipta Kerja tidak disahkan, daya saing ekonomi Indonesia akan makin tertinggal, termasuk dari negara-negara ASEAN yang kini giat menggenjot investasi. Bahkan, sangat mungkin Indonesia akan kembali terjerumus menjadi negara miskin,” papar Arif.

Sementara, menurut Djaka Badranaya, Wakil Ketua International Council for Small Business (ICSB) Banten, proyek-proyek investasi di Indonesia perlu selaras dengan semangat penguasaan pasar domestik, mendukung penguatan industri dan ketahanan pangan, serta peningkatan daya saing Indonesia dalam ekonomi global. Kenyataannya, tingkat efisiensi investasi Indonesia masih rendah, yang tercermin pada tingginya skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih tinggi.

Selain itu, Djaka menambahkan, sektor investasi Indonesia masih didominasi oleh jasa, yakni  57,5% pada 2019, yang menyerap tenaga kerja lebih sedikit dibandingkan industri pengolahan dan pertanian. “Karena itu, seberapa jauh kualitas investasi itu berhasil ditingkatkan tidak cukup jika hanya mengandalkan reformasi regulasi, tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti mentalitas birokrasi, efektivitas koordinasi, dan turunan kebijakan-kebijakan teknis yang kongruen,” pungkasnya. (set)