Penyelesaian Perkara Eks Pegawai Bank Permata Seharusnya Melalui Mediasi

ANP • Tuesday, 21 Jul 2020 - 15:48 WIB

Jakarta - Ardi Sedaka, mantan Client Relationship Head Bank Permata sedang menghadapi masalah hukum terkait perkara dugaan tindak pidana perbankan. Dia menjadi salah satu dari 8 (delapan) terdakwa yang perkaranya sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejak bulan Juni 2020 lalu. Ardi ditahan oleh penyidik di Rutan Bareskrim Polri.

Ardi didakwa melakukan pelanggaran kebijakan/aturan internal Bank Permata berupa "trade checking" dan juga karena "tidak adanya Surat Permohonan Kredit" yang diajukan oleh debitur. Atas perbuatannya Ardi didakwa melanggar Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

“Padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata yang bisa kapanpun diganti secara internal, dan bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud,” kata Kuasa Hukum Arfi Sedaka, Didit Wijayanto Wijaya, dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (21/7/2020).

Menurut Didit, dalam Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan diperlukan langkah-langkah administratif terlebih dahulu melalui Surat Pembinaan, dan Surat Teguran. Apabila bank tidak menetapkan langkah-langkah perbaikan maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Bank Permata untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana Pasal 49 Ayat 2b tersebut. Artinya hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa UU Perbankan bersifat administratif yang diperkuat dengan sanksi pidana. Sehingga apabila suatu kasus dapat diselesaikan dengan cara lain seperti tindakan administratif, maka penyelesaian dengan menerapkan hukum pidana tidak diperlukan. Dalam hal ini, ketentuan pidana yang ada dalam UU Perbankan tidak langsung diterapkan apabila terjadi tindak pidana.

“Jadi yang dimaksud Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan itu harusnya aplikasinya perbankan menganut azas ultimum remedium, artinya ada admistrative penal dulu terhadap pejabat bank yang melakukan kekeliruan. Jadi jangan salah artikan pasal 49 Ayat 2b itu,” tegasnya.

Kasus yang menjerat Ardi Sedaka, mengundang rasa keprihatinan rekan-rekannya dari Forum Komunikasi Alumni SMA Kanisius angkatan 1983 (CC83) dan Alumni FEUI 1983 (FEUI83). Mereka merasa prihatin dan terpanggil untuk turut memperjuangkan nasib Ardi. Berdasarkan penelurusan mereka ternyata terdapat banyak kejanggalan pada berkas perkara penyidikan yang terungkap di persidangan.

"Teman-teman alumni CC83 dan FEUI83 saat ini menggalang persatuan untuk mencari keadilan buat rekan mereka Ardi Sedaka yang sudah sejak bulan Juni 2020 berada dalam tahanan Rutan Bareskrim," ungkap Didit.

Adapun kejanggalan yang dimaksud diantaranya saksi terlapor dari penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) membuat Laporan Model A. Artinya laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri.

Laporan Model A itu ternyata hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT MJPL dengan plafon kredit senilai Rp1,6 triliun dan menyisahkan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp750 miliar. 

Perihal Saksi Pelapor menjadi Penyidik perkara pidana ini pernah dikatakan oleh Ahli Arbijoto sebagai abuse of power. Mahkamah Agung pun membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian, karena saksi penangkap juga merupakan bagian dari penyidik yang mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana.

Dalam laporan juga tidak tercantumkan siapa Terlapor, dan pasal yang dilaporkan adalah Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan, serta Pasal 3, 4 dan 5 UU Pencucian Uang. Padahal, Pasal 49 Ayat 1 (a/b/c) dan Ayat 2b merupakan delik formil atau hanya merupakan suatu perbuatan dari pejabat bank saja yang tidak ada dan tak mungkin dilakukan pencucian uang.

Selain  itu, saksi Adief Razali dari OJK menerangkan beberapa hal, yakni  indikasi yang terjadi berdasarkan hasil pemeriksaan tahunan terhadap Bank Permata atas rekening debitur MJPL hanya ditemukan indikasi double financing di bank BCA. Diperoleh kabar juga di Bank Mandiri, namun pada kedua bank tersebut tidak menjadi permasalahan hukum. 

Sedangkan kejanggalan yang terungkap di persidangan dimana saksi – saksi  sebanyak 14 (empat belas) orang yang dihadirkan ternyata tidak tahu perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka. 

“Ini jelas merupakan suatu kejanggalan karena keterangan saksi merupakan alat bukti utama dalam hukum acara pidana (pembuktian), apabila ternyata tidak ada saksi, mau kemana keadilan di negara kita ini?” tegas Didit. (ANP)