KPAI: 79,9% Siswa Tak Suka PJJ, Tidak Ada Interaksi dengan Guru

AKM • Friday, 24 Jul 2020 - 10:53 WIB

Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) segera  memperbaiki sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) fase kedua. Langkah Ini penting dilakukan agar anak-anak dapat mengikuti PJJ dengan kondisi bahagia.

Komisioner KPAI Retno Restyarti, mengatakan 79,9% siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah dan Sebanyak 76,8% gurunya tidak melakukan interaksi selama PJJ kecuali memberikan tugas saja kepada siswa.

"Jika PJJ diperpanjang, namun tanpa perbaikan dan dukungan internet negara, maka hal ini akan berpotensi meningkatkan stres pada anak yang berdampak pada masalah psikologi anak-anak," ucap Retno, Di Jakarta, Kamis (23/7/2020).

Menurur Retno, pada PJJ fase pertama, meski sudah ada Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang menyebutkan, bahwa selama PJJ guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum. Alasannya, keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran, dan lingkungan, sehingga pembelajaran banyak terhambat.

"Faktanya guru mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus menerus pada para siswanya selama PJJ. Siswa kelelahan dan tertekan merupakan bentuk kekerasan juga," kata Retno.

KPAI menerima pengaduan yang menunjukkan guru dan sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum sehingga membebani anak-anak selama belajar dari rumah. "Seperti gara-gara PJJ, ada kasus anak yang sampai di rawat di Rumah Sakit karena beratnya penugasan PJJ; ada siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ; bahkan ada siswa yang tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian daring. Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus nyaris tidak terlayani pendidikan," beber Retno Restyarti.

Seorang siswa SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur berinisial RVR dilaporkan tidak naik kelas lantaran tak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara daring. Dia tak bisa ikut ujian karena komputer jinjing milik siswa kelas X tersebut rusak. Nilai akhir siswa tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adapun lima mata pelajaran tersebut ialah Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.

Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak berindak semaunya. Hal ini sangat penting dan perlu sangat diperhatikan, mengingat PJJ secara daring masih dilaksanakan di semester ini. Sehingga kasus-kasus anak tidak naik kelas dikarenakan sakesulitan PJJ daring masih sangat mungkin terjadi.

Ada salah satu SMKN di Jawa Timur yg tidak menaikkan siswa karena siswa yang bersangkutan tidak menyerahkan tugas-tugas saat PJJ secara online. Tapi orang tuanya bersikeras bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktunya mendekati deadline. Selama pandemi tidak ada interaksi guru-siswa hanya mengerjakan tugas-tugas.

Orangtuanya kemudian dipanggil sekolah dan anaknya akan diberikan kelonggaran jika bersedia dimasukan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena ananda ber-IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis, namun si anak memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak menjadi tertekan secara psikologis dengan situasi ini dan ananda mengetahui kalau sekolah menganggapnya sebagai ABK. Orangtua lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.

"Jika kehadiran yang dipakai sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti PJJ secara daring," tanya Retno. (AKM)