DPR : Revisi UU Penyiaran Tergantung Pembahasan RUU Omnibus Law

AKM • Wednesday, 12 Aug 2020 - 10:04 WIB

Jakarta - Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha mengatakan Undang-Undang Penyiaran ini sudah 2 kali di revisi, yang pertama UU 24/1997 dan kedua UU No. 32/2002, kemudian dua priode mau merevisi tidak juga selesai. 

“Tarik menarik kepentingan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran tak kunjung selesai. Di satu sisi, perubahan teknologi yang begitu pesat membuat materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang merevisi Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 itu dianggap tak lagi up to date sehingga harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian,”  ungkap Tamliha dalam diskusi Forum Legislasi, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (11/8/2020) lalu.

Politisi Fraksi PPP itu mengingatkan, apabila Rancangan Undang-Undang tentang Omnibus Law disahkan oleh DPR dalam waktu segera, maka ada puluhan isu krusial tentang UU Penyiaran.

“Perbaikan dan penyempurnaan materi RUU Penyiaran harus dilakukan untuk memberi ruang digitalisasi penyiaran yang dinilai lebih menguntungkan dari berbagai aspek dibanding penggunaan siara televisi saat ini yang masih menggunakan frekwensi analog,”  katanya.

Disisi lain,  Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengusulkan agar RUU tersebut ditarik dulu dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2020.

“Selanjutnya, setelah diperbaiki bisa dimasukkan pada Oktober 2020 mendatang,” ucap Kharis

Dia membenarkan perkembangan pesat teknologi digitalisasi berbasis internet menjadi hal yang tak terelakkan dan telah memberi pengaruh kuat dalam kehidupan berbangsa dan negara. Pengaruhnya sangat luas baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan negara.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan perlu singkronisasi dari penyiaran berbasis teknologi dari analog ke digitalisasi. Selain itu, itu materi RUU juga harus menekankan bahwa penggunaan frekwensi harus diperuntukkan bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat bukan segelintir pengusaha besar di lembaga penyiaran yang selama ini menguasai dinilai frekwensi penyiaran.

“Materi lain yang juga perlu diperbaiki adalah regulator yaitu pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wasit yang akan menegur dan memberi sanksi apabila ada pelanggaran. Karena banyak konten dan materi-materi yang berbahaya bagi anak-anak,” sebut Kharis.

Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kemkominfo, Prof. Dr. Henri Subiarto mengakui materi RUU Penyiaran yang sudah usang karena tidak menyesuaikan dengan perkembangan siaran teknologi digital. Menurutnya, migrasi atau peralihan dari TV analog ke penyiaran digital atau Analog Switch-Off (ASO) sudah dilakukan beberapa negara karena TV analog dianggap boros frekuensi.

 

“TV yang ditonton di rumah merupakan frekwensi analog yang boros pita frekwensi, sedangkan penyiaran digital berbasis internet seperti hemat pita frekwensi, sehingga TV rumahan di Indonesia menghabiskan frekuensi, yang dampaknya bukan hanya merugikan pendapatn negara. Apalagi, masyarakat cenderung lebih senang menyaksikan menyaksikan siaran televisi digital melalui telepon selularnya,”  katanya.

 

Oleh karena itu, menurut Henry dengan migrasi teknologi digital menjadi keharusan. Dengan demikian, pemanfaatan spektrum frekuensi akan makin efisien, daya saing industri penyiaran akan meningkat, serta tingkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga akan makin optimal.

 

“TV analog yang boros frekuensi, telah membuat frekuensi yang tersedia bagi masyarakat agar bisa melakukan akses internet menjadi makin sedikit. Padahal saat ini di era digital, Internet sangat dibutuhkan masyarakat.

Kelebihan frekuensi ini juga bisa menjadi dividen digital yang menjadi sumber keuangan negara.  Pemerintah  bisa rugi hingga puluhan triliunan rupiah dalam satu bulan, jika tak kunjung memiliki dividen digital berupa spektrum frekuensi,” pungkasnya. (AKM)