PKS: RUU Cipta Kerja Pangkas Peran MUI

Mus • Thursday, 13 Aug 2020 - 15:46 WIB

Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meminta pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dikebut mengingat sekarang masih masa reses DPR. Isi RUU Omnibus Law ini sangat sensitif dan berpengaruh luas kepada masyarakat. Sehingga harus dibahas secara tatap muka langsung, tidak melalui sarana online seperti sekarang ini.

Salah satu hal sensitif yang perlu dibahas secara cermat dalam RUU setebal lebih dari seribu halaman ini, adalah soal pengurangan peran MUI dalam proses penetapan fatwa halal. Isu strategis seperti ini, dinilai Mulyanto, perlu dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait agar tidak menimbulkam gejolak di masyarakat. 

"Persoalan halal-haram merupakan persoalan mendasar dalam ajaran Islam dan soal keyakinan agama bagi kaum Muslimin Indonesia. Karena itu pengaturan masalah ini harus cermat dan hati-hati," tegas Mulyanto. 

Mulyanto menambahkan dalam RUU Cipta Kerja ini sedikitnya ada dua isu penting terkait jaminan produk halal yang perlu dicermati masyarakat. Isu tentang siapa yang berwenang menetapkan fatwa halal serta pemberian fatwa halal bagi produk usaha mikro dan kecil berdasarkan “pernyataan” sepihak. 

Pasal 49 ayat (4) RUU Omnibus Law Ciptaker mengubah pasal 10 ayat (2) UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang semula penetapan kehalalan produk oleh MUI menjadi: penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Sedangkan dalam pasal 49 ayat (2), RUU Ciptaker menyisipkan pasal-pasal baru, yaitu (4A), yang berbunyi: (1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil. (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.

Bedasarkan beleid ini, maka Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) didasarkan pada fatwa tertulis dari MUI dan ormas Islam yang berbadan hukum. Jadi MUI tidak lagi menjadi otoritas hukum tunggal dalam soal fatwa halal ini. 

"Banyaknya otoritas pemberi fatwa halal ini mungkin positif dalam memberi kemudahan pengurusan sertifikat halal, namun beresiko adanya penyalagunaan wewenang oleh pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas mumpuni dalam urusan agama.

Bila terjadi hal seperti itu akan menimbulkan keraguan, kebingungan, ketidakpastian hukum dan ketidakpercayaan masyarakat kepada penyelenggara jaminan produk halal. Ketentuan ini harus kita timbang dengan cermat," imbuh Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi era Presiden SBY ini.

Sementara itu, lanjut Mulyanto, ketentuan halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil, yang cukup didasarkan pada “pernyataan” sepihak, sangat rawan penyimpangan. 

"Pertanyaannya apakah sebuah pernyataan subyektif secara sepihak dari pengusaha kecil dan mikro tersebut dapat memberikan “jaminan” kepada masyarakat bahwa produk itu benar-benar halal. Kondisi ini cukup potensial menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan konsumen Muslim, yang akhirnya dapat menurunkan permintaan kepada usaha kecil dan mikro tersebut," timbang Mulyanto. 

Sebaiknya, saran Mulyanto, perizinan pernyataan halal untuk usaha kecil dan mikro dikeluarkan dari rezim perizinan berusaha. 

Pemerintah memposisikan diri sebagai lembaga administratif, sementara MUI diposisikan sebagai lembaga internum umat yang memiliki otoritas penetapan fatwa halal.

"Sebenarnya bila Pemerintah ingin memberikan fasilitasi sertifikasi halal bagi usaha kecil dan mikro, maka itu dapat dilakukan melalui revisi PP No. 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Tidak substansial untuk diubah di tingkat UU," tandas Mulyanto. (Jak)