PKS: RUU Cipta Kerja Hapus Peran DPR dalam Penentuan Tarif Listrik

Mus • Thursday, 20 Aug 2020 - 20:23 WIB

Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengkritik isi RUU Cipta Kerja yang menghilangkan peran DPR dalam penentuan besaran tarif dasar listrik (TDL) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Sebelumnya dalam Pasal 34, UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan disebutkan, bahwa pemerintah berwenang menetapkan TDL setelah disetujui DPR. Begitu juga dalam hal penentuan RUKN, pemerintah dapat menetapkan RUKN setelah berkonsultasi dengan DPR. 

Tapi dalam RUU Cipta Kerja atau yang sering disebut sebagai RUU Omnibus Law, ketentuan persetujuan DPR itu dihapus. Pemerintah diberi kewenangan penuh menetapkan TDL secara berbeda di setiap wilayah, serta menetapkan RUKN tanpa persetujuan atau konsultasi dengan DPR. 

"PKS menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah mencabut otoritas rakyat atas listrik, khususnya dalam hal penentuan tarif. Menurut RUU ini, bila kelak disahkan, seratus proses terkait tarif listrik, akan ditentukan oleh pemerintah pusat," jelas Mulyanto. 

Hal lain yang disorot Mulyanto dari RUU Omnibus Law ini adalah dicabutnya peran pemerintah daerah dalam pengelolaan listrik daerah. Semua akan diatur pemerintah pusat. Pemerintah daerah dan DPRD tidak lagi berwenang menentukan TDL dan rencana kerja usaha ketenagalistrikan daerah. 

"Melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini terjadi sentralisasi penyelenggaraan ketenagalistrikan. Soal tarif listrik, soal RUKN serta soal penyelenggaraan ketenagalistrikan seluruhnya dipusatkan pada pemerintah pusat tanpa mengikutsertakan Dewan Perwakilan Rakyat maupun Pemerintah Daerah," tambahnya.

Pemusatan kekuasaan kelistrikan di tangan pemerintah pusat seperti ini betul-betul akan menutup katup demokratisasi soal kelistrikan. Padahal demokratisasi mensyaratkan proses chek and ballances dan otonomi antar unsur eksekutif, legislatif dan daerah.

"Prinsip demokrasi dan desentralisasi adalah berbagi kekuasaan, mengingat spent of controll (rentang kendali) Indonesia, baik secara sektoral maupun teritorial, yang demikian luas dari Sabang hingga Merauke," lanjut Mulyanto. 

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan juga menilai ada kecenderungan TDL akan terus merangkak naik.

Karena kontribusi Independent Power Producer (IPP) atau perusahaan pembangkit listrik swasta yang semakin dominan. Belum lagi adanya klausul TOP (take or pay) dari IPP. Dimana dipakai atau tidak stroom harus dibayar PLN sesuai kontrak.

Saat ini, ketika permintaan listrik merosot, karena skema TOP, PLN tetap harus membayar listrik yang tidak dipakainya. Harga dan volume tidak pernah turun, meski ekses kelebihan listrik tersebut tidak digunakan PLN.

Tak ada berbagi derita di masa pandemi Covid-19 ini dari IPP. Seluruh beban ditanggung PLN, yang ujung-ujung harga jual listrik tersebut dibebankan kepada rakyat atau disubsidi Negara.

"Di satu sisi terjadi liberalisasi kelistrikan, dimana tidak ada pembatasan saham asing di sisi pembangkit. Sementara di sisi lain kewenangan pemerintah daerah dan wakil rakyat untuk berperan serta dalam sektor ini semakin dipangkas habis.  Penguasaan dan pengusahaan listrik akan terpusat pada Pemerintah Pusat dan badan usaha. Kalau terjadi kong kalikong diantara mereka, maka rakyat lah yang akan menderita. Ini tentu tidak kita inginkan," tandas Mulyanto. (Mus)