Bahas RUU Cipta Kerja, PKS: Indonesia Jangan Mau Didikte WTO 

Mus • Thursday, 3 Sep 2020 - 13:36 WIB

Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengingatkan pemerintah agar jangan terlalu longgar memberlakukan ketentuan impor terkait produk pertanian.

Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan itu mendesak pemerintah jangan mau didikte WTO dalam menetapkan aturan impor pangan yang akan dicantumkan dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja.  

"Kepentingan nasional dan perlindungan terhadap petani harus tetap menjadi hal yang utama dan dipertahankan.

Kebijakan politik kita tetap harus mendahulukan pangan dalam negeri dan menjadikan impor pangan sebagai komplementer. Impor dilakukan hanya jika kita kekurangan produksi dalam negeri," ujar Mulyanto di Jakarta (3/8)

Mulyanto menambahkan liberalisasi perdagangan jangan sampai menggilas nasib petani. Sebab sekali petani frustasi dan tidak mau menanam maka selamanya bangsa ini akan jadi pengimpor semua produk pertanian. 

“Ini menjadi perhatian serius PKS, karena pada pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus dan menambahkan norma terkait dengan UU Pangan baik UU Hortikultura, UU Peternakan, UU Budidaya Pertanian, UU Pemberdayaan Petani, dll terlalu longgar dan adaptif terhadap tekanan WTO, khususnya terkait dengan soal impor pangan.

PKS mengupayakan, agar isi ketentuan RUU Omnibus Law ini tetap mengedepankan kedaulatan pangan bangsa Indonesia dan mengamankan produk pertanian lokal.

Yang ujungnya juga akan berdampak pada kesejahteraan petani kita," tegas Mulyanto.  

Sebelumnya, panel WTO memutuskan, bahwa Indonesia telah melanggar aturan GATT 1994, yakni larangan penggunaan pembatasan dan pelarangan ekspor ataupun impor berdasarkan gugatan Amerika dan Selandia Baru.  

Hal ini dibuktikan panel secara eksplisit. Menurut mereka pelarangan tersebut ada dalam undang-undang dan peraturan turunannya. Untuk itu Indonesia harus melakukan penyesuaian UU dimaksud dan peraturan turunannya dengan pengaturan WTO.  

Bila tidak, maka diperkirakan pihak Amerika akan menggugat (retaliasi) dengan nilai kerugian diperkirakan sebesar Rp.10 triliun/tahun.  

Disamping, mereka juga akan menghambat ekspor Indonesia yang masuk ke negera mereka.

Namun demikian, kata Mulyanto, Indonesia tidak boleh kalah dari berbagai tekanan perdagangan internasional ini.  

"Soal kedaulatan pangan kita adalah harga mati. Ini tidak bisa-ditawar-tawar lagi. Impor tidak boleh dilakukan pada saat musim panen dan produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan yang ada.  

Pembelaan dan perlindungan politik kita kepada petani adalah melalui pemihakan kita pada produk pangan domestik. Karenanya, perlakuan atas produk dalam negeri dan produk impor jelas akan berbeda.  Karena ini bentuk dari pemihakkan tersebut.

Untuk itu, kita harus menggunakan seluruh instrumen perdagangan yang kita miliki untuk membela kedaulatan pangan kita," tandas mantan Irjen Kementerian Pertanian era Presiden SBY ini. 

Disamping itu, imbuh Mulyanto, rumusan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja disesuaikan sedemikian rupa, sehingga tetap menjaga ruh pemihakkan terhadap petani dan kedaulatan pangan nasional dan tetap tidak bertentangan dengan aturan WTO.  

"Ini kan soal “wording” yang bagus, sementara soal substansi mestinya tidak berubah. 

Secara politik, soal sikap pembelaan kita pada kepentingan nasional dan kedaulatan pangan nasional kita, tidak akan berubah," tandas Mulyanto. (Jak)