BMKG Gelar Sekolah Lapang Serentak Secara Nasional

Mus • Tuesday, 15 Sep 2020 - 10:33 WIB

Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika melaksanakan pembukaan Sekolah Lapang BMKG secara nasional melalu video conference, Senin (14/9). 

Sekolah Lapang BMKG ini terdiri dari Sekolah Lapang Cuaca Nelayan, Sekolah Lapang Geofisika, dan Sekolah Lapang Iklim. Acara ini dibuka oleh Presiden Ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari penandatanganan kerja sama antara BMKG dengan Badan Penanggulangan Bencana (BAGUNA) PDI Perjuangan pada 25 November 2019 di BMKG.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan tujuan diadakannya sekolah lapang BMKG ini adalah mewujudkan ketahanan masyarakat petani, nelayan, serta komunitas penggiat dan pemangku kepentingan,  terhadap bahaya yang diakibatkan oleh kondisi cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami, khususnya dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.

“Sekolah lapang tersebut dimaksudkan sekali lagi untuk mendukung ketahanan pangan, kesejahteraan, dan keselamatan masyarakat khususnya di masa pandemi atau di masa adaptasi kebiasaan baru. Juga untuk mendukung pemulihan ekonomi di masa pandemi covid-19 melalui peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya petani, nelayan, serta komunitas penggiat dan pemangku kepentingan, dalam memahami cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami,” jelas Dwikorita.

Dwikorita menambahkan, BMKG sebagai lembaga pemerintah harus mampu mengambil peran penting untuk memberikan solusi demi meningkatkan ketahanan masyarakat dari berbagai ancaman bencana hidrometeorologi dan geofisika, serta dari ancaman yang mengganggu ketahanan pangan akibat dampak dari kondisi cuaca dan iklim. 

Melonjaknya kejadian-kejadian cuaca dan iklim ekstrem serta kejadian gempabumi beberapa tahun terakhir, lanjut Dwikorita, dapat mengancam keberlangsungan kegiatan pertanian, pelayaran, dan bahkan keselamatan bagi masyarakat, sehingga tidak bisa diabaikan.

“Melalui sekolah lapang BMKG, baik sekolah lapang iklim, sekolah lapang cuaca nelayan, dan sekolah lapang geofisika atau sekolah lapang gempa bumi, kami berupaya keras agar para petani, para nelayan, dan masyarakat secara umum mampu bertahan dengan tetap produktif, sehat dan selamat, dengan beradaptasi terhadap kondisi cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami,” imbuhnya.

BMKG juga memerlukan mediator untuk menyampaikan informasi cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami untuk bisa diterima di kalangan petani, nelayan, dan penggiat penanggulangan bencana. Informasi tersebut diolah dari data hasil observasi melalui ribuan sensor yg terpasang di seluruh provinsi hingga kecamatan di Indonesia, yang terkoneksi dengan Internet of Things (IoT) serta dengan 41 Radar Cuaca dan Satelit Himawari.

Kemudian data tersebut secara otomatis dan super cepat diproses oleh Artificial Intelligent (AI) melalui perhitungan matematis-fisis dan pemodelan numeris dengan menggunakan super komputer, untuk mendapatkan berbagai jenis informasi dalam bentuk info-grafis ataupun peta digital, agar dapat tersebar luas  secara cepat, tepat dan akurat. 

Sehingga dapat dimanfaatkan dan diterapkan untuk perencanaan dan tata ruang kota/wilayah yang berbasis mitigasi bencana dan perubahan iklim, utk prediksi dan peringatan dini bencana hidrometeorologi, geofisika dan potensi karhutla, untuk mendukung ketahanan pangan, energi dan sumber daya air, serta untuk kepentingan berbagai sektor seperti sektor transportasi, infrastruktur, kesehatan, pariwisata, industri, dsb.

Khusus untuk sektor pertanian dan perikanan, agar informasi BMKG tersebut dapat langsung diakses dan mudah dipahami oleh para petani, nelayan dan masyarakat secara umum, diperlukan sosialisasi dan disseminasi melalui mediator yg dilatih dalam Sekolah Lapang BMKG ini.

Dwikorita berharap melalui Sekolah Lapang BMKG pemanfaatan informasi BMKG bisa lebih optimal dan mengurangi kesalahpahaman dan kesalahan interpretasi, seiring dengan terbangunnya sikap atau budaya siaga dan tanggap bencana bagi masyarakat dan sekolah yang berada di wilayah potensi bencana tektonik ataupun bencana hidrometeorologi, sebagaimana yang kita pelajari dari bangsa Jepang, 

“Harapan kami dengan Sekolah Lapang BMKG dapat diperoleh jumlah ribuan peserta yang mampu memahami, menyebarluaskan informasi, dan mendapatkan pembelajaran cuaca, iklim, gempabumi dan tsunami. Sehingga budaya siaga dan tanggap bencana bagi masyarakat dapat tercipta, sekaligus kita harus mampu membangun sikap budaya untuk tetap produktif, sehat dan selamat dalam kondisi pandemi ini,” pungkas Dwikorita.