Pandemi Corona, Perilaku Merokok Cenderung Tetap bahkan Meningkat

Mus • Tuesday, 15 Sep 2020 - 14:41 WIB

Jakarta – Komnas Pengendalian Tembakau hari ini meluncurkan hasil survei mengenai perilaku merokok selama masa pandemi COVID-19. Salah satu hasil yang perlu ditindaklanjuti adalah kecenderungan perilaku merokok tetap dilakukan meski berada di rumah yang seharusnya aman dari asap rokok, bahkan meningkat pada beberapa responden. 

Karena itu, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kembali diterapkan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jakarta, yang menjadi perhatian banyak pihak, perlu melihat juga hasil survei ini dalam membuat aturan untuk menekan perilaku merokok, yang juga merupakan salah satu faktor risiko peningkatan infeksi dan memperparah komorbid COVID-19.

Jumlah perokok di Indonesia saat ini sekitar 75 juta orang atau 33% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas, 2018). Angka ini adalah yang ketiga tertinggi di dunia. Sementara itu, ada lebih dari 75% penduduk Indonesia menjadi perokok pasif dalam kegiatan sehari-harinya (Riskesdas, 2018) di ruangan tertutup, yang di antaranya adalah rumah.

Sejak diterapkannya aturan “diam di rumah” selama pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia, penduduk diharapkan tetap berdiam diri di rumah untuk menekan penularan virus, yaitu bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Dari survei yang dilakukan Komnas Pengendalian Tembakau terhadap 612 responden dari berbagai daerah di Indonesia selama 15 Mei – 15 Juni 2020 (tiga bulan setelah pemerintah Indonesia menyatakan status darurat Corona pada 29 Februari 2020), ditemukan beberapa hal yang bisa menjadi landasan peraturan oleh pemerintah dalam penerapan PSBB.

Dalam survei ini ditemukan bahwa kelompok masyarakat berpendidikan lebih tinggi dan bekerja di sektor formal cenderung lebih perhatian dalam menerapkan rumah bebas asap rokok. Meskipun sebagian besar responden percaya bahwa perokok lebih rentan terkena COVID-19 (61,4%), namun masih ada yang tidak percaya, yaitu mereka yang masih menjadi perokok aktif (63,6%). 

Dari sisi belanja rokok, dengan melihat jumlah biaya beli rokok mayoritas (49.8%) responden yang merokok mengaku memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok selama masa pandemi, bahkan meningkat (13,1%). Jumlah tersebut mayoritas (77,14%) berasal dari responden dengan penghasilan kurang dari lima juta rupiah (9.8% dari responden berpenghasilan di bawah 2 juta dan 17.8% dari responden yang berpenghasilan 2-5 juta). 
 
Sementara dari jumlah batang yang dikonsumsi, mayoritas responden yang merokok (50.2%) mengaku tetap, dan bahkan meningkat (15.2%) selama masa pandemi. Jumlah responden yang mengaku meningkat jumlah batang yang dikonsumsinya mayoritas (69.77%) berasal dari responden dengan penghasilan di bawah lima juta rupiah (13.2% dari responden berpenghasilan 2 juta dan 18.1% dari responden yang berpenghasilan 2-5 juta).

Untuk melengkapi survei ini, responden juga menjawab pertanyaan mengenai pictoral health warning (peringatan kesehatan bergambar – PHW) terkait masa pandemi. Dari bagian ini didapatkan temuan bahwa 9.5% responden mengaku bahwa peringatan kesehatan bergambar membuat mereka berhenti merokok selama pandemi COVID-19 berlangsung dan mayoritas responden (56,7%) mengaku setuju jika ukuran peringatan kesehatan bergambar diperbesar.

Krisna Puji Rahmayanti, peneliti utama survei ini yang juga sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa dari serangkaian temuan di atas tampak bahwa pemerintah harus melakukan intervensi terhadap perilaku merokok, terutama selama masa pandemi. 

“Adanya pandemi ini tidak menurunkan perilaku merokok yang menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih kuat menerapkan kebijakan fiskal maupun non fiskal agar masyarakat dapat berhenti merokok. Rumah seharusnya menjadi tempat teraman, salah satunya dari bahaya asap rokok, terutama di masa pandemi ini,” katanya.

“Telah banyak kajian ilmiah yang membuktikan bahwa perilaku merokok membuat perokok lebih mudah terinfeksi COVID-19 dan juga memperparah komorbid pada pasien COVID-19. Karena itu, penanganan COVID-19 seharusnya memperhitungkan hal ini agar penanganan lebih efektif, apalagi di negara yang jumlah perokoknya begitu besar seperti Indonesia,” jelas dr. Agus Dwi Susanto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Karena itu, dari temuan ini, Komnas Pengendalian Tembakau menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, baik kepada Kementerian Dalam Negeri dalam hal penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) serta lisensi penjualan, Kementerian Kesehatan terkait PHW dan upaya berhenti merokok, Satgas COVID-19 mengenai penanganan COVID-19, serta Kementerian Keuangan sehubungan dengan belanja rokok, yaitu:

1. Meningkatkan edukasi rumah ramah anak adalah rumah yang bebas asap rokok
2. Perluasan kabupaten/kota dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang disertai dengan edukasi yang komprehensif tentang bahaya perilaku merokok
3. Membatasi akses pembelian rokok melalui pemberlakuan lisensi penjualan produk tembakau sebagai zat adiktif
4. Meningkatkan edukasi berhenti merokok dan menyediakan unit berhenti merokok pada level fasilitas kesehatan tingkat pertama 
5. Peningkatan luas peringatan kesehatan bergambar dalam revisi PP109/2012 sesuai dengan peta jalan pengendalian tembakau menuju plain packaging golden standard
6. Memasukkan pengendalian konsumsi rokok dalam pedoman penanganan COVID-19 oleh seluruh satuan tugas di pusat maupun daerah
7. Menaikkan cukai rokok untuk mendorong kenaikan harga rokok.