Terungkap Penyebab Harga BBM tak Turun, PKS Minta BPK dan KPK Periksa Pertamina

Mus • Tuesday, 22 Sep 2020 - 17:52 WIB

Jakarta - Setelah hampir 3 bulan berlalu, baru sekarang diketahui penyebab harga BBM tetap tinggi meskipun harga minyak dunia anjlok di bawah USD 20/barel. Penyebabnya karena Pertamina tidak membeli minyak mentah ke produsen minyak dunia, melainkan ke perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas.

Pertamina berdalih keputusan itu diambil berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Dalam Permen tersebut diatur kewajiban Pertamina untuk membeli BBM mentah dalam negeri. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Permen menyebut (1) PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mengutamakan pasokan Minyak Bumi yang berasal dari dalam negeri.

Sementara pada ayat (2)  dijelaskan PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mencari pasokan Minyak Bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor Minyak Bumi.

Menanggapi hal tersebut anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan Pertamina terlalu berlebihan menafsirkan isi ketentuan Permen No. 42/2018. Meskipun dalam Permen diamanatkan pembelian minyak mentah dari perusahaan dalam negeri bukan berarti Pertamina tidak dapat menegosiasikan sesuai mekanisme bisnis, terkait jumlah dan harga pembelian. Sebab selisih harga minyak dunia saat itu sangat besar.  

Mulyanto menambahkan dalam Pasal 4 Permen ESDM tersebut juga diatur ketentuan soal negosiasi ini.  Menurut Wakil Ketua FPKS DPR RI, Permen itu dibuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan alat mendapat keuntungan bagi kelompok tertentu. 

"Padahal kalau Pertamina membeli BBM secara global, yang harganya tengah merosot tajam, maka Pertamina dapat memperoleh marjin yang jauh lebih baik. Bahkan harga BBM domestik juga dapat diturunkan mengikuti perkembangan harga BBM global.

Kalau ini dilakukan maka akan menguntungkan masyarakat, di samping Pertamina juga dapat menekan kerugian mereka di semester satu tahun 2020 yang mencapai 11 triliun rupiah," jelas Mulyanto. 

Mulyanto menyayangkan sikap Pertamina yang terlalu kaku memahami Permen No. 42/2018. Mulyanto menduga ada pihak tertentu yang memanfaatkan celah hukum ini untuk mendapatkan keuntungan. Untuk itu Mulyanto minta BPK dan KPK turun tangan memeriksa Pertamina agar diketahui aliran transaksi pembelian BBM tersebut. 

"Kita perlu tahu, BBM mentah domestik yang wajib dibeli oleh Pertamina dengan harga tinggi tersebut apakah merupakan BBM yang merupakan bagian pemerintah dari kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas atau bukan?  

Kalau BBM yang dimaksud adalah BBM bagian dari Pemerintah mungkin kita masih maklum karena uang Pertamina tersebut tetap akan mengalir ke dalam kas Negara.  Namun bila Pertamina wajib membeli BBM mentah domestik milik swasta maka ini patut dipertanyakan," tegas mantan Irjen Kementerian Pertanian ini. 

"Jika Permen ESDM di atas dibaca dengan cermat, memang kewajiban Pertamina ini ditekankan untuk membeli bbm milik KKKS swasta. Ini sama saja meminta rakyat “saweran” untuk mensubsidi KKKS agar tidak ambruk.  

Mengalirnya uang rakyat atau uang BUMN secara merugikan seperti ini jelas tidak sesuai dengan ketentuan dalam pengelolaan keuangan Negara. Karenanya mendesak bagi BPK dan KPK untuk melaksanakan audit secara khusus terhadap masalah ini.  Agar menjadi jelas duduk perkaranya," imbuh Mulyanto. 

"Kalau kita dalami dengan seksama, maka terkesan mengada-ada bila entitas bisnis sebesar BUMN Pertamina salah tafsir terhadap Permen ESDM No. 42/2018 tersebut di atas. Mereka tentu dapat menanyakan hal tersebut secara detil kepada Pemerintah. 

Jangan-jangan yang terjadi di lapangan memang adanya tekanan yang mewajibkan Pertamina untuk membeli BBM mentah domestik bagian KKKS swasta tersebut. 

Karenanya wajar saja kalau keuangan Pertamina berdarah-darah dan masyarakat tidak dapat memperoleh bbm dengan harga murah yang disesuaikan dengan harga bbm global yang sedang anjlok," lanjut Mulyanto. 

"Bisa jadi ini akan masuk dalam kasus abuse of power, yang mengakibatkan kerugian Negara. Kalau ini terjadi, maka saya mendesak KPK berkepentingan untuk pro-aktif menyelidiki," tandas Mulyanto. (Jak)