Anis Tegaskan Revisi UU BI Belum Urgen 

AKM • Wednesday, 23 Sep 2020 - 14:15 WIB

Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini sedang membahas Rancangan Undang-undang untuk merevisi Undang Undang Bank Indonesia.  Anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan pembahasn Revisi UU BI belum mendesak dilakukan pada saat pandemi covid 19.

“Saya memandang pembahasan revisi undang-undang BI saat ini tidak mendesak,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu ( 23/9/2020).

Anis menyatakan bahwa secara prinsip amandemen UU BI sesungguhnya sudah dilakukan pada saat keluarnya Perppu No.1 tahun 2020 yang menjadi UU no.2 tahun 2020. Bahkan UU no 2 tahun 2020 tidak hanya mengamandemen UU BI akan tetrapi juga mengamandemen UU yang terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

“Dan Perppu ini telah memberikan ruang yang sangat longgar kepada pemerintah untuk menangani krisis keuangan akibat pandemic Covid-19,” tandasnya.

Anis menilai, sikap pemerintah yang tidak fokus dalam penanganan Covid-19, menjadikan krisis keuangan berkepanjangan. Tentang tugas pokok dan fungsi BI yang berjalan saat ini, Anis mengatakan bahwa tupoksi BI sudah cukup baik. BI memiliki independensi yang memungkinkan BI menjalankan kewenangannya mengambil kebijakan-kebijakan tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk intervensi dari pemerintah. Membaca perubahan yang diinginkan dalam rencana revisi UU BI, Anis menegaskan pihaknya sangat khawatir ada perubahan yang justru berdampak negative. 

Beberapa poin perubahan dalam RUU BI yang disoroti Anis diantaranya, penambahan fungsi BI. Selain untuk menjaga stabilitas rupiah, BI juga dibebankan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, fungsi pengawasan dikembalikan dari OJK kepada BI. Poin lain adalah pembentukan dewan moneter yang mendapatkan banyak sorotan dari para ekonom. Juga terdapat poin yang memungkinkan campur tangan pemerintah yang lebih banyak dalam pengambilan kebijakan moneter yang selama ini dilakukan secara independent oleh BI. Ada juga poin memberikan hak suara kepada pemerintah dalam penentuan Dewan Gubernur. Juga poin dimana BI semakin bebas membeli surat utang negara, dan yang lainnya.

“Jika diperhatikan, RUU ini akan menabrak beberapa UU yang sudah ada sebelumnya,” tegas Anis.

Anis juga menyampaikan bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan perubahan undang-undang, akan tetapi yang dibutuhkan adalah efektifitas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah dikeluarkan pemerintah. Selain itu, juga ada skema burden sharing dimana  Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berbagi beban (burden sharing) dalam melaksanakan penanganan Covid-19  dan pemulihan ekonomi nasional.  Di  dalam penerapan burden sharing, bebannya banyak diberikan kepada BI yaitu sebesar 53% dari beban utang.

“Jadi dalam pandangan kami, optimalisasi program PEN inilah yang dibutuhkan,” katanya.

Anis menegaskan bahwa pembentukan dewan moneter ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia tidak belajar dari krisis sebelumnya. Krisis moneter/keuangan 1997/1998 memberi pelajaran bahwa Indonesia menjadi negara yang paling terdampak, baik dari sisi biaya pemulihan maupun sosial.  

“Dan kita khawatir dengan dikembalikannya dewan moneter, kita akan terjerumus Kembali kepada krisis yang sama,“ tukasnya.

Anis lebih mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan peran dan kinerja KSSK. Pemerintah telah memiliki KSSK yang didalamnya ada Menkeu, Gubernur BI, Ketua DK OJK dan ketua DK LPS. “Fungsi KSSK bisa dioptimalkan untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,” pungkasnya. (AKM)