Patuhi Tarif Tes Usap!

Mus • Monday, 5 Oct 2020 - 08:55 WIB

Jakarta - Mulai hari ini rumah sakit (RS) tak bisa lagi seenaknya mematok tarif tes usap (swab test). Sesuai aturan baru, tarif tes usap dibatasi maksimal Rp900.000. Di tengah pandemi Covid-19, RS didorong memiliki tanggung jawab bersama dengan tidak mengambil keuntungan yang berlebihan.

Kesadaran bersama, termasuk dari penyelenggara layanan tes usap tersebut, penting karena selama ini tarif pemeriksaan mandiri dengan metode real-time (RT) Polymerase Chain Reaction (PCR) seolah tak terkendali. Tarif tes usap yang dikenakan tiap RS berbeda-beda. Kisarannya Rp1,6 juta hingga Rp3 juta. Besaran tarif tergantung layanan yang diberikan dan cepat tidaknya hasil pemeriksaan.

Tingginya tarif dan disparitas harga ini membuat masyarakat dihadapkan pilihan yang pelik. Lebih-lebih, tidak semua RS baik negeri maupun swasta di Indonesia memiliki layanan tes PCR tersebut. Hal itu membuat masyarakat kian susah untuk mendeteksi secara mandiri kondisi kesehatannya.

Di Jakarta, tes usap yang dipatok sejumlah RS swasta rata-rata berkisar di atas Rp2 juta. Begitu membeludaknya peminat, untuk mendapatkan layanan tes ini juga tidak bisa singkat. Namun, RS umumnya juga melayani pendaftar yang ingin mendapatkan layanan dan hasil cepat. Konsekuensinya, tarif yang dikenakan bisa menjadi berlipat-lipat.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) mewanti-wanti agar pengelola RS mematuhi aturan teranyar dari pemerintah pusat tersebut. Bahkan, dia mengimbau kepada para pengusaha khususnya di dunia medis untuk tidak mengambil keuntungan pada masa pandemi ini.

"Saya kira itu tidak terpuji. Dalam kondisi seperti ini kalau ada kelompok atau pengusaha yang mengambil keuntungan, saya rasa tidak baik," kata Ariza kemarin. 

Dia tak mengelak banyak RS di Jakarta selama ini mematok harga tinggi tes usap. Namun, meskipun diperbolehkan mencari keuntungan, menurutnya tugas dunia usaha adalah membantu masyarakat bersama-sama melawan Covid-19.

Jumat (2/10/2020), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara resmi menetapkan harga tes usap sebesar Rp900.000. Harga itu sudah termasuk pemeriksaan dengan metode real time PCR.

Penetapan besaran ini telah melalui survei lapangan. Angka Rp900.000 dinilai bisa dipertanggungjawabkan lantaran telah mencakup biaya pemeriksaan, layanan, administrasi, laboratorium, dan sebagainya. Tarif tersebut juga dinilai relatif terjangkau oleh masyarakat. 

Beberapa bulan lalu, harga rapid test untuk keperluan bepergian dengan pesawat dan kereta api juga mencapai Rp500.000–800.000. Kemenkes pun membuat tarif batas atas sebesar Rp150.000.

Soal besaran tarif, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen menilai harga acuan tertinggi biaya tes usap sebesar Rp900.000 masih wajar. "Rp900.000 ini cukup moderat," tandasnya. 

Namun, politikus PDIP ini juga berharap agar para peneliti dan ilmuwan Indonesia dapat menemukan alternatif lain untuk mendeteksi dini Covid-19. Komisi IX belum lama ini telah berkunjung ke beberapa universitas, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melihat Genose, kreasi anak bangsa untuk penanganan Covid.

Pihaknya berharap agar uji klinis alat itu segera tuntas dan bisa digunakan masyarakat. Genose diklaim jauh lebih murah dan lebih nyaman karena hanya menggunakan embusan napas tanpa lagi harus dicolok-colok menggunakan cotton bud mini.

RS Minta Biaya PCR Diperinci

Pengaturan batas atas tarif tes usap yang mulai diberlakukan pemerintah, praktis membuat pengelola RS tak lagi bisa leluasa. Mereka berpikir keras menghitung ulang model layanan berikut besaran keuntungan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menilai rumah sakit memahami dan akan mengikuti kebijakan pemerintah ini. Namun, imbas regulasi baru ini, pihaknya juga harus memerinci lagi serta mengatur standardisasi alat pendukung tes PCR.

Dia menjelaskan, pada swab test PCR terdiri atas beberapa komponen seperti mesin PCR dan alat pendukung pemeriksaan. Alat pendukung itu meliputi reagent, sumber daya manusia (SDM) yaitu dokter spesialis, analis, alat pelindung diri (APD), listrik, dan sebagainya. ”Karena sudah ditetapkan pemerintah seperti itu, tentunya kita ikut saja. Namun, kami juga mendorong agar reagent juga distandardisasi agar bisa lebih efisien lagi,” ujar Ichsan kemarin. 

Bagi RS yang tidak memiliki alat PCR, biasanya harus mengirim bahan atau sampel pemeriksaan ke RS atau laboratorium lain. Dengan begitu, kemungkinan akan ada biaya tambahan seperti transportasi. Di sisi lain, Ichsan juga belum memahami penetapan tarif baru tersebut untuk tes PCR yang berapa hari. (KORAN SINDO)