BPKN Klausula dalam Jasa Pembiayaan Banyak Rugikan Konsumen

MUS • Monday, 23 Nov 2020 - 14:56 WIB

Jakarta - Adanya pandemi Covid-19 membuat Otoritas Jasa Keuangan, memperluas kebijakan stimulusnya di sektor lembaga pembiayaan atau jasa pembiayaan (leasing) untuk meringankan beban masyarakat, dengan melonggarkan ketentuan kewajiban pembayaran. Namun ternyata hal ini juga dimanfaatkan masyarakat agar terhindar dari kredit macet.

Terlepas dari hal itu, saat mengambil angsuran di tengah pandemi Covid-19, masyarakat harus memahami isi klausula baku yang tercantum dalam kontrak. Jangan sampai ada konflik dengan pihak jasa pembiayaan (leasing) yang bisa merugikan masyarakat di kemudian hari.

Ternyata, ketidakpahaman ini menjadi salah satu sebab meningkatnya pengaduan konsumen sektor jasa pembiayaan (leasing) di masyarakat.

"Data pengaduan terkait jasa pembiayaan (leasing) ke BPKN yang masuk per Oktober tahun 2020 sebanyak 45 pengaduan. Umumnya hal ini disebabkan oleh kredit macet, penarikan paksa kendaraan, dan lain-lain," tutur Ketua BPKN Rizal E. Halim, dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/11/2020).

Hal lain ditambahkan Rizal, perjanjian 
jual beli melalui jasa pembiayaan (leasing) seringkali dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menyelipkan klausula baku yang letaknya sulit terlihat atau terlalu kecil, sehingga tidak dapat dibaca secara jelas atau isinya sulit dimengerti oleh kreditur.

Untuk itu, harus ada standar baku yang 
tidak merugikan kreditur yang dikeluarkan regulator, dalam hal ini OJK, agar konsumen tidak menjadi pihak yang lebih dirugikan.

"Konsumen dilindungi oleh jaminan fidusia yang apabila mengalami kredit macet saat ditengah pembayaran, pihak perusahaan pembiayaan tidak boleh mengambil paksa kendaraan. Hal yang perlu dipahami juga oleh kreditur adalah, petugas yang melakukan eksekusi benda jaminan fidusia merupakan pegawai perusahaan pembiayaan atau pegawai alih daya perusahaan pembiayaan yang memiliki surat tugas untuk melakukan eksekusi benda jaminan fidusia.

Petugas yang melakukan eksekusi benda jaminan fidusia juga harus membawa sertifikat jaminan fidusia, dan konsumen berhak ditawarkan sebagai pihak pertama dalam objek lelang barang," paparnya.

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang klausula-klausulanya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, sepanjang perjanjian baku tersebut tidak mencantumkan atau memuat klausula sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1) didalam UUPK tahun 1999.

Lebih lanjut dijelaskan, konsumen perlu berhati-hati jika ingin mengambil angsuran melalui jasa pembiayaan (leasing) dan memperhatikan serta paham klausula baku yang tercantum dalam perjanjian standar.

Contoh yang kerapkali ditemukan didalam perjanjian pembiayaan melalui jasa pembiayaan (leasing) adalah kalimat yang menyatakan memberikan kuasa penuh kepada perusahaan/pelaku usaha untuk dapat menjaminkan kendaraan yang dibeli secara angsuran.

Selain itu tidak ada transparansi besaran  denda yang disebutkan dalam perjanjian dari jumlah angsuran yang telah jatuh tempo. Bahkan Pihak kreditur hanya menyampaikan besaran denda keterlambatan tanpa harus mendiskusikan apakah pihak debitur sanggup dan/atau menyetujui atau tidak besaran denda tersebut.

“Dalam upaya perlindungan konsumen, kreditur jasa pembiayaan (leasing) perlu dilindungi hukum. Pemerintah perlu mengatur pencantuman klausula baku dalam perjanjian standar agar tidak merugikan konsumen.

Apalagi dengan semakin banyaknya masyarakat yang memanfaatkan jasa pembiayaan (leasing) membuat pemerintah harus turun tangan untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, “pungkas Rizal. (Mus)