Komisi IV DPR Sepakat Bentuk Pansus Dana Sawit

MUS • Tuesday, 24 Nov 2020 - 14:56 WIB

Jakarta - Komisi IV DPR-RI melalui rapat Panja Sawit mengadakan rapat dengar pendapat bersama asosiasi petani sawit, dengan agenda masukan pengunaan dana sawit perkebunan untuk peremajaan kelapa sawit. Pimpinan rapat G. Budisatrio Djiwandono anggota DPR-RI menyebut rapat ini didasari pada kenyataan bahwa sawit Indonesia sebagai sumber devisa terbesar negara dan penyedia lapangan pekerjaan melalui perkebunan sawit rakyat, tapi dalam perkembangannya menghadapi beberapa masalah. Salah satunya akses dana yang sulit bagi petani. 

Padahal UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan telah memuat dan mengamanatkan tentang akses pembiayai khususnya kepada perkebun. Pasal 93 dan 94 UU perkebunan pembiayan usaha perkebunan bersumber dari APBN dan APBD serta bersumber dari penghimpunan dana pelaku perkebunan, dan dana lain yang sah.

Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi pertanyaan sejauh mana saat ini petani sawit memperoleh manfaat dari akses dana penghimpunan perkebunan dari lembaga Badan pengelola Dana Perkebunan (BPDPKS). Untuk itu DPR RI mengadakan rapat dengar pendapat dengan asosiasi pengusaha dan asosiasi petani sawit, untuk memberikan solusi dan masukan berkaitan dengan dana perkebunan sawit.

Menangapi penjelasan dari Pimpinan Rapat DPR RI Komisi IV, Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah belum menyentuh petani sawit swadaya salah satunya soal program sawit rakyat (PSR). Terkait dengan program PSR, terkesan proyek ini bukan untuk memuliakan dan memberdayakan petani. Contohnya pada program ini melibatkan PT. Surveyor Indonesia yang mengambil fungsi dinas perkebunan dan tidak memaksimalkan fungsi dari dinas tersebut. 

"Selain itu pemerintah tidak memiliki peta jalan PSR sehingga sangat kesulitan untuk mencapai target-target yang sudah ditentukan oleh pemerintah sendiri. Mulai dari data yang ditargetkan di mana setiap daerah tidak memiliki dasar, berapa jumlah petani saat ini dan siapa yang diremajakan. Pemerintah juga tidak memperhatikan kelembagan petani sawit yang terjadi saat ini. Petani dipaksa untuk membentuk kelembagaan petani sawit hanya untuk menampung uang dari PSR dan ini akan mengulangi kesalahan masa lalu. Habis uang subsidi kelembagan bubar," tegas Darto. 

SPKS juga menyoroti soal platform biaya program PSR Rp60 juta yang ditetapkan oleh pemerintah perlu ditinjau kembali lagi supaya tidak ada kredit lagi yang ditanggung oleh petani sawit, untuk itu bantuan PSR perlu ditambah menjadi Rp50 juta per hektar, ketimbang dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel. Selain itu juga terkait dengan prosedur program PSR sangat sulit dan panjang sehingga ini menghalangi cita-cita pemerintah untuk peningkatan produktifitas melalui PSR.

Mansuetus Darto, juga mengatakan perlu ditata ulang dan kelembagaan dari BPDPKS yang saat ini terkesan sangat ekslusif mulai dari pimpinanya yang sulit untuk diskusi dengan petani sawit, laporan untuk publik tidak tersedia setiap tahunnya terutama pengunaan dana pungutan, adanya nama-nama konglomerat sawit dalam Dewan pengawas dan Komite pengarah BPDKS, selain itu juga perlu untuk dilakukan audit dengan pelibatan KPK. 

Sementara Pahala Sibuea ketua umum Persatuan Organsiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (POPSI), menjelaskan terkait dengan lembaga Badan pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) sumber dananya berasal dari sumbangan petani sawit, saat ini sudah ada Rp51 triliun yang dikelola sejak tahun 2015. 

"Tetapi dana ini sangat disayangkan karena sebagain besar hanya dimanfaatkan untuk mensubsidi biodiesel  sebanyak Rp30,2 triliun (59,21 persen) sementara untuk petani hanya Rp2,7 triliun (5,29 persen) melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)," jelasnya. 

Ketua Umum Apkasindo, Alfian Alrahman, menilai lambatnya PSR karena kurangnya sosialisasi dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ia menyebut baru 30 persen sistem pendanaan saat ini untuk program PSR dari taget pemerintah. Selain itu juga lambatnya PSR ini karena pendanaan yang tidak mencukupi sehingga perlu ditambah anggran PSR menjadi Rp50 juta per ha.

Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, mengatakan dalam rangka percepatan PSR GAPKI bisa menjadi mitra dengan petani sehingga peremajaan sawit bisa berjalan dengan baik. 

"Saat ini lagi berkoordinasi dengan, BPDPKS, Kemenko Perekonomian, dan Dirjebun untuk menyusun kemitraan dengan dengan petani sawit," kata Joko. 

Menanggapi penjelasan dari asosiasi petani sawit, anggota DPR RI Komisi IV, Darori Wonodipuro mengusulkan untuk dibentuk Pansus Sawit untuk melihat dan melakukan menyelidiki terkait dengan pengunaan dari dana sawit terutama penggunaan subsidi untuk biodiesel sekitar Rp30 triliun saat ini, artinya kalau ada yangkorupsi bisa ditangkap saja. 

Luluk Nur Hamidah dari Fraksi PKB melihat sangat tepat dibentuk Pansus Dana sawit, untuk memperkuat posisi petani sawit, melalui pansus di kelembagan BPDPKS perlu dilihat siapa-siapa yang ada di sana apakah mereka mewakili kelompok kepenting apakah ada repsentasi petani sawit rakyat, kalau dilihat sekarang ada hal yang tidak lazim di lembaga BPDPKS. Melalui pansus ini bisa kelihatan secara terang benerang soal pengunaan dana pungutan sawit oleh publik. 

Riezky Aprilia dari Fraksi PDI Perjuangan, sangat sepakat untuk membentuk pansus dana sawit, menurutnya saat ini perusahaan sawit belum ada kontribusi kepada masyarakat sekitar, terutama di Sumatera Selatan. 

Bambang Purwanto, dari Fraksi Demokrat sepakat untuk membentuk pansus dana sawit bahwa persoalan PSR hanya satu persoalan saja tetapi juga banyak persoalan yang dihadapi oleh petani sawit saat ini mulai penjulan petani sawit, SDM petani sawit sampai pupuk yang harus mendapatkan dukungan dari dana sawit. Sementara  itu juga perlu ada dukungan kepada dinas perkebunan dari dana pengelola perkebunan ini.