Mengenal KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum MUI Pengganti KH Ma'ruf Amin

MUS • Friday, 27 Nov 2020 - 13:01 WIB

Jakarta - Musyawarah Nasional (Munas) X Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta pada Kamis malam (26/11/2020) memutuskan susunan kepengurusan baru Periode 2020-2025.

KH Miftachul Akhyar terpilih sebagai ketua umum (ketum) menggantikan KH Ma'ruf Amin yang sekarang menjabat sebagai wakil presiden. Namun, Ma'ruf Amin tetap memegang peranan di MUI dengan menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim).  

Siapakah Miftachul Akhyar? Ulama kelahiran Surabaya, 1 Januari 1953 itu adalah seorang Rais 'Aam (Pimpinan Tertinggi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2018-2020 yang ditetapkan pada Rapat Pleno PBNU, Sabtu (22/9/2018). Sama seperti di MUI yang menggantikan posisi Kiai Ma'ruf, di PBNU, posisi Miftachul Akhyar juga menggantikan posisi yang ditinggalkan Kiai Ma'ruf ketika hendak maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019.  

Kiai Miftah- begitu biasa beliau disapa- saat ini merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya. Di kalangan NU, Kyai Miftah bukan nama baru, terutama Nahdliyin dan kalangan pesantren Jawa Timur. Ia lahir dari tradisi dan melakukan pengabdian di NU sejak usia muda. Beliau adalah putra Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah KH Abdul Ghoni. Dia merupakan anak kesembilan dari 13 bersaudara. Di NU dia pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya 2000-2005, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur 2007-2013, 2013-2018 dan Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020 yang selanjutnya didaulat sebagai Pj. Rais Aam PBNU 2018-2020.

Menurut catatan PW LTNNU Jatim Ahmad Karomi, dikutip dari NUOnline, genealogi keilmuan Kiai Miftah tidak diragukan lagi. Dia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur), Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, dan mengikuti Majelis Ta'lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al- Maliki di Malang, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.

Masih menurut Karomi, penguasaan ilmu agama KH Miftachul Akhyar ini membuat kagum Syekh Masduki Lasem sehingga dia diambil menantu oleh kiai yang terhitung sebagai mutakharrijin (alumnus) istimewa di Pondok Pesantren Tremas.

Kiai Miftah mendirikan Pondok Miftachus Sunnah di Kedung Tarukan, Surabaya mulai dari nol. Awalnya dia hanya berniat mendiami rumah sang kakek, tetapi setelah melihat fenomena pentingnya "nilai religius" di tengah masyarakat setempat maka mulailah beliau membuka pengajian. “Konon, kampung Kedung Tarukan terkenal sejak lama menjadi daerah yang tidak ramah pada dakwah para ulama. Namun berkat akhlak dan ketinggian ilmu yang dimiliki KH Miftachul Akhyar, beliau berhasil mengubah kesan negatif itu sehingga kampung yang "gelap" menjadi "terang dan sejuk" seperti saat ini dalam waktu yang relatif singkat,” tulis Karomi.

Kesederhanaan Kiai Miftah, menurut Karomi, yang terekam dengan jelas adalah bentuk penghormatan terhadap tamu. Kiai Miftah tidak segan-segan menuangkan wedang dan menyajikan cemilan kepada tamunya. “Akhlak ini beliau dapat dari ayahandanya, KH Abdul Ghoni,” lanjut Karomi.

Karomi mengutip penuturan Gus Tajul Mafakhir, bahwa ayah Kiai Miftah merupakan karib KH M. Usman al-Ishaqi Sawahpulo saat sama-sama nyantri kepada Kiai Romli di Rejoso, Jombang. Terlebih lagi saat sang ayah nyantri kepada Kiai Dahlan Ahyad Kebondalem sang pendiri MIAI dan Taswirul Afkar. “Tepatlah kiranya pepatah mengatakan: "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya".

KH Abd Ghoni dalam pandangan Abah Thoyib Krian merupakan salah satu kiai ampuh yang ditutupi oleh keindahan akhlak. Acapkali KH Abd Ghoni mengadukkan wedang, menyuguhkan dan mempersilakan kepada tamunya. Nah, "lelaku sae" inilah yang oleh KH Miftachul Akhyar tetap dilestarikan,” tulis Karomi.