Jurgen Klopp yang Makin Bingung

FAZ • Tuesday, 5 Jan 2021 - 07:59 WIB

Yophiandi Kurniawan
Penggemar Sepakbola

 

Selasa dinihari, Liverpool kalah lagi. Dengan kesalahan skema dan pola permainan. Skema yang coba diperbaiki dengan kehadiran Thiago, tapi dirusak dengan Jordan Henderson sebagai bek tengah. Mengakibatkan pola permainan yang mestinya atraktif, malah jadi sibuk menahan laju para pemain Southampton.

Thiago yang punya naluri bertahan, selain piawai menjadi pengatur serangan, malah dipasangkan dengan Oxlade Chamberlain dan Gini Wijnaldum. Dua pemain tengah yang nalurinya lebih besar untuk menyerang. Tanpa pemain tengah yang punya kemampuan bertahan, Thiago tak berkembang. Kepayahan, dan menuai kartu kuning.

Klopp menurunkan Thiago, karena sudah paham, dua bek sayapnya bakal kena gerendel. Minimal coba digerendel. Dan pemain Southampton ditumpuk bertahan, membuat Mane-Firmino-Salah yang dalam beberapa pertandingan sudah kehilangan efek wow, bahkan membosankan—gerakannya mudah sekali dibaca—kehilangan akal membuat gol. Bahkan untuk menembak ke sasaran. 17 kali tembakan, cuma satu tepat sasaran! Tim lawan, hanya 7 kali tembakan, 3 kali tepat sasaran.

Lagi-lagi ini kesalahan Klopp, membuat Henderson jadi bek tengah. Tanpa menurunkan Milner jadi pemain tengah, bertarung di depan dua bek, melindungi Thiago menjalankan tugasnya, memberi umpan dan mendikte permainan.


*****

Sebetulnya, ini hal yang mestinya dihindari pelatih dan pemain sepakbola. Bahkan pelatih dan pemain olahraga apapun. Segala strateginya dibaca lawan. Karena dengan dibaca, maka lawan bisa mengatasi—minimal berusaha agar bisa mengantisipasi. Karena tak ada tim yang tak bercacat, punya kelemahan. Bahkan tim sekelas Bayern Munchen di Jerman, atau Manchester United di bawah Alex Ferguson. Fergie tak bisa dianggap sekedar beruntung membawa Manchester United menjadi juara Liga Primer Inggris 13 kali! Semua punya kelemahannya. Baik di pilihan pemain yang diturunkan, maupun pola permainan yang dilaksanakan.

Di Liverpool, yang sekarang—masih—berada di puncak klasemen Liga Primer Inggris, inilah yang dialami Jurgen Klopp. Sang pelatih yang mendapat kepercayaan penuh dari fans setelah bisa menepati janjinya memenangkan piala setelah dia diberi waktu empat tahun melatih Jordan Henderson dan kawan-kawan. Piala Liga Champions--dan tiga piala lain, hingga yang diidamkan fans Liverpool, Piala Liga Primer Inggris. Puja puji diberikan kepada Klopp. Dari fans (mungkin) seantero dunia.

Klopp, memang tidak lupa bahwa dengan menyandang gelar juara Liga Primer Inggris 2019-2020, di musim berikutnya, klub lawan bakal mempelajari Liverpool. Mengamatinya, di mana kelemahannya, dan bagaimana mengatasinya. Dan itulah yang terjadi. Alarm nya menyala, kala Liverpool dibuat dua kali mesti menelan pil pahit, kalah dari Atletico Madrid di Liga Champions, dan di Liga Primer Inggris, kalah dari Watford, 3-0. Tim yang tadinya dikalahkan Liverpool, dengan skema yang sama.


*****

Skema, pola, dan para pemain yang sama, sudah lumrah dipelajari lawan, untuk ditaklukan. Itulah yang terjadi, Selasa dinihari. Southampton yang berkali-kali tak bisa menang lawan Liverpool, bisa menang. Karena punya skema yang mencontoh WBA dan Fulham dalam bertahan, dan punya Danny Ings yang sebagai striker memang termasuk kelas yang pandai. Tak semua striker punya inteligensia yang bagus—bahkan untuk jatuh di kotak penalti, dan lolos dari perangkap offside, perlu kecerdikan.

Tapi soalnya bukan itu, Klopp yang percaya diri terus saja memainkan pola yang sama, padahal kondisinya berbeda dengan ketika Liverpool tak terkalahkan di Anfield sepanjang 2019. Bahkan ketika dengan pola dan pemain yang sama, Liverpool diberi pelajaran oleh Watford dan Atletico Madrid, sebelum dibantai Manchester City 4-0 saat Liverpool justru disanjung-sanjung karena telah memastikan juara Liga Primer Inggris. Lalu apa bedanya? Ada tiga yang berbeda sejak Klopp menemukan pola 4-3-3 yang dimulainya sejak kehilangan Philippe Coutinho yang pindah ke Barcelona. Yakni, iklim Liga Primer Inggris, skema dan pola permainan, dan mental pemain Liverpool.

Iklim, minimal ada dua hal, yaitu, kekuatan lawan dan semangat mengalahkan juara bertahan, serta sistem pertandingan, baik tak adanya penonton karena pandemi Covid-19 dan VAR. Ini dua hal yang sudah diantisipasi Klopp yang bilang, tim lain bakal lebih baik, dan Liverpool harus lebih baik lagi, di awal musim. Juga tanpa pemain keduabelas, Klopp sudah mengingatkan para pemain, bahwa suasana stadion Anfield bakal berbeda. Tanpa gemuruh pemberi semangat dan pemacu adrenalin dan otak para pemain. 

Lalu, skema dan pola permainan. Sejak ditinggal Coutinho, Klopp bisa mendapatkan pola yang ajeg di sekma 4-3-3 dengan pola bek sayap yang agresif. Dan bek yang agresif ini juga dilengkapi kemampuan akurasi operan antar lini yang aduhai. Para pemain lawan dibuat kocar kacir, kanan kiri flat, atau diagonal depan kanan kiri. Tanpa Coutinho, otak penyerangan—yang belum secanggih Kevin de Bruyne saat itu—Klopp menemukan pola yang ajeg. Sepanjang 2019, pola ini bisa dimainkan dengan baiknya, tanpa gangguan berarti. Baru di 2020, bertemu Diego Simeone, Klopp tersadar. Cuma punya satu skema dan pola. Tapi untuk berubah atau punya pola lain sudah tak keburu. 

Untunglah, lawan-lawan Liverpool yang di deretan empat tim papan atas juga sedang bebenah. Pep yang pusing bolong di bek tengah dan bek kiri, Chelsea yang kopong di lini belakang—termasuk kiper, Spurs yang kecapekan dan bosan, dan Ole yang masih hijau menangani tim besar. Tapi di musim 2020-2021, kondisi sudah diingatkan Pep dan Nigel Pearson—pelatih Watford. Yang sebelumnya sebetulnya alarm sudah diberikan Simeone.

Liverpool mudah dimatikan, bila gerak bek sayap Trent Alexander Arnold dan Andy Robertson dipersempit, tak bebas, maka serangan Liverpool tumpul. Karena tak ada penyuplai bola sepintar Coutinho—meski belum secerdik Xabi Alonso dan Garry McCalister di masanya. Gelandang Liverpool adalah para perebut bola dan penekan lawan. Ketika bola dikuasai, buru-buru oper ke depan. Lewat sayap atau passing melambung ke depan, seperti membelah lautan. Itu rumusnya. Mudah dibaca lawan di kesempatan berikutnya.

Ketiga, mental pemain. Klopp sadar betul, kompetisi antar pemain depan mesti dibuat. Maka, Diogo Jotta jadi pilihan, setelah sejumlah pemain gagal mendarat di Liverpool. Demikian juga di lapangan tengah. Thiago Alcantara menjadi pemberi warna kompetisi satu tempat di tengah. Selain tugas utamanya, jadi varian baru skema dan pola permainan Liverpool.

Kedua pemain ini menumbuhkan mental berkompetisi yang bagus di antara pemain lawas yang mengantarkan Liverpool mulai digdaya pada 2018 hingga digdaya pada 2019. Pemain baru, menumbuhkan semangat bahwa tim yang dibelanya mesti memenangkan sesuatu. Karena dia—sang pemain-- ingin membuktikan bisa memenangkan gelar.

Tanpa mengurangi respek pada bek kiri asal Yunani, Konstantinos Tsimikas, rasanya pemain ini bukanlah yang diinginkan sebagai pemberi motivasi bersaing bagi Andrew “Andy” Robertson. Kemampuannya masih jauh di bawah Andy Robertson, di tengah kompetisi yang lawan-lawan tengah mengincar setiap pemain Liverpool dimatikan gerakannya.

Pemain-pemain Liverpool nya Klopp kini sedang dilanda mental yang kurang kondusif. Sejak tak bisa membongkar pertahanan lawan, merasa diakali wasit dan VAR, dicurangi pemain lawan—hingga para pemainnya cedera, dan tak bisa mengharapkan sepenuhnya dukungan suporter. Harapannya pada pembaruan. Thiago, Jotta dan Keita sebetulnya adalah kunci pembaruan itu. Tapi cedera pemain membuat skema pemain berubah. Tapi tanpa perubahan pola. Pola baru berubah, kala Thiago menjadi pemain tengah. Itupun harus dilindungi oleh pemain tengah sekelas Henderson atau Milner yang berani bertarung menghalangi gerak lawan yang mengincar Thiago.

Selasa dinihari, Klopp mesti menurunkan Henderson sebagai bek—entah apa alasannya, karena masih ada Nathan Philips, bukan Rys Williams—yang bisa menemani Fabinho. Klopp bereksperimen lagi karena tiga bek andalan tak bisa bermain, van Dijk dan Gomez yang cedera panjang, dan Matip yang kembali cedera. Fabinho yang sejatinya pemain tengah bertahan, disulap jadi bek tengah karena John W Henry, bos Fenway Sports Group—enggan keluar duit buat beli bek berpengalaman. 

Dan kopeg nya Klopp yang bertahan dengan skema pola yang sama dan Henry yang sangat perhitungan bisnis untuk prestasi Liverpool FC, diganjar Southampton.