Sapa Aruh Sri Sultan, Adaptasi Perubahan Menggugah Semangat untuk Bangkit Ekonomi

MUS • Tuesday, 16 Feb 2021 - 18:29 WIB

Yogya - Konon katanya, makhluk yang mampu mempertahankan hidup bukan yang terbesar, terkuat atau terkaya. Namun yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Ubahlah cara berpikir dan bertindak sejak sekarang. Kalau dulu, suntikan semangatnya 'Merdeka atau Mati', kini pilihannya juga tinggal dua yakni 'Kolaborasi atau Mati' atau Collabs or Collapse".

Pernyataan tersebut disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X, melalui “Sapa Aruh” Mengadaptasi Perubahan, Menggugah Semangat Bangkit-Ekonomi. Sapa Aruh yang dilaksanakan Selasa (19/02) di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta tersebut merupakan kali ketiga yang digelar sejak pandemi COVID-19 menerpa wilayah DIY pada Maret 2020.

Pada gelaran ketiga tersebut, Ngarsa Dalem menekankan perlunya memberi jeda pada setiap bidang kehidupan. Di bidang ekonomi misalnya, kesempatan ini bukannya membuat tidak produktif, tetapi justru lebih produktif dengan memperbaiki piranti bisnis. “Saat datangnya wabah corona adalah momentum terbaik bagi para pelaku bisnis untuk memperbaiki fasilitas, meningkatkan kemampuan SDM dan juga menajamkan wawasan bisnis,” terang Sri Sultan.

Di samping itu, masa berakhirnya COVID-19 juga tidak dapat diprediksi. “Karena itu, tidak bisa lain, hadapi dan terima kenyataan. Bisnis juga harus menerima kenyataan dengan mencari model atau rekayasa baru yang berbiaya murah dan terima pembayaran cepat,” tukas Sri Sultan.

Dengan didampingi Wagub DIY KGPAA Paku Alam X dan Sekda DIY Kadarmanta Baskara Aji, Sri Sultan juga mengatakan dalam Sapa Aruh bahwa menghadapi kebijakan Pengetatan Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM), sejatinya seperti saat nelayan merespon gelombang besar.

Berdasar penuturan Sri Sultan, adanya gelombang besar membuat nelayan tidak bisa melaut. Namun nelayan mengerti bahwa ketika badai reda, plankton tumbuh lebih subur, ikan-ikan berkembang biak dan nelayan kembali mendapatkan ikan dalam jumlah cukup. Ujar Sri Sultan, “Para nelayan tidak pernah menghujat gelombang dan badai, tetapi mereka mengetahui kapan saat terbaik untuk istirahat. Tetap “semangat tanpa sambat”.

Demikian halnya seperti petani yang membiarkan lahannya beristirahat untuk memulihkan diri. Petani menganggap bahwa saat ini merupakan waktu terbaik untuk memperbaiki alat-alat yang rusak. “Yang masih baik dibuat lagi varian yang lebih baik. Sikap-sikap rajin inilah yang mempertemukan kita pada produk-produk jenius. Produk-produk tidak sekali jadi yang terasah oleh mentalitas perajin yang ingin memperbaiki diri dan karyanya,” ungkap Sri Sultan.

Menurut Ngarsa Dalem, dari nelayan dan petani, dapat diperoleh sebuah pelajaran berharga bahwa meredakan gelombang yang sedang terjadi hanya sebuah ilusi. “Adakah nelayan yang melawan gelombang dan badai agar reda dan adakah petani yang membiarkan tanahnya terus dipaksa untuk menghasilkan?," sebut Sri Sultan. Sri Sultan mengatakan bahwa dua perilaku demikian merupakan solusi jangka pendek tanpa memikirkan peningkatan kualitas di kemudian hari.

Sultan mengingatkan agar manusia jangan terfokus menilai apa yang hilang, namun lebih melihat apa yang tersisa. Dalam pandangan beliau, berapa pun penghasilan yang didapatkan akan cukup bila digunakan untuk kebutuhan hidup. “Sebaliknya, penghasilan pasti akan kurang, bila digunakan untuk gaya hidup dan memenuhi kepuasan hati,” jelas Sri Sultan.

Selain kekuatan dari dalam diri, Sri Sultan mengutarakan bahwa manusia juga harus banyak berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Walau banyak rintangan dan tidak ada lagi tembok untuk bersandar, namun akan selalu ada lantai untuk bersujud. “Janganlah selesaikan masalah dengan mengeluh atau marah. Selesaikan dengan sabar, bersyukur, dan optimis," pesan Sultan. (Ron)