Cegah Perkawinan Anak, Turunkan Stunting, dan Tingkatkan Kesehatan Anak

ANP • Friday, 19 Feb 2021 - 22:38 WIB

Jakarta - Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N. Rosalin mengungkapkan upaya mencegah terjadinya perkawinan anak turut mendukung percepatan penurunan angka stunting, dan peningkatan setinggi mungkin derajat kesehatan anak Indonesia, sesuai dengan amanat Konvensi Hak Anak dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

“Salah satu upaya Kemen PPPA dalam mencegah perkawinan anak yaitu dengan mengoptimalkan peran dan fungsi layanan kesehatan yang ada di masyarakat, salah satunya melalui Puskesmas Ramah Anak (PRA). “Puskesmas Ramah Anak berperan penting dalam mencegah perkawinan anak, hal ini juga turut mendukung upaya percepatan penurunan stunting, serta risiko kesehatan lainnya,” ungkap Lenny dalam acara Sosialisasi Upaya Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mencapai Derajat Kesehatan Masyarakat yang optimal Guna Terwujudnya Indonesia Layak Anak (IDOLA) Tahun 2030 yang dilaksanakan secara virtual.

Lenny menjelaskan puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat penting dalam mencegah perkawinan anak, mengingat 32% anak di Indonesia diketahui berobat ke puskesmas. “Jika puskemas di seluruh Indonesia dapat memenuhi 8 (delapan) dari 15 indikator Puskesmas Ramah Anak dan fungsinya dioptimalkan untuk mencegah perkawinan anak maka hal ini dapat turut menyelamatkan dan meningkatkan kualitas anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa,” tambah Lenny.

Puskemas Ramah Anak harus dapat melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan ramah anak, di antaranya yaitu memperluas cakupan dan mengembangkan layanan puskesmas bagi masyarakat secara berkesinambungan khususnya dalam Pencegahan Perkawinan Anak. “Adapun peran dan fungsi puskesmas dalam mencegah perkawinan anak yang dapat dioptimalkan, yaitu melakukan edukasi, sosialisasi, dan konseling terkait kesehatan reproduksi, pentingnya memenuhi hak anak, serta pemahaman terkait hak anak untuk tidak dinikahkan saat usia anak. Hal ini dapat disampaikan oleh para tenaga kesehatan di puskemas untuk diteruskan kepada masyarakat luas seperti keluarga dan anak itu sendiri,” jelas Lenny.

Lebih lanjut Lenny menegaskan bahwa perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang memiliki banyak dampak negatif dan sangat berbahaya tidak hanya bagi anak, keluarga, tapi juga negara, di antaranya yaitu stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak lainnya. Untuk itu, semua pihak perlu bersinergi mencegah perkawinan anak demi kepentingan terbaik 80 juta anak Indonesia. 

“Kita perlu bersinergi, baik pemerintah pusat, daerah, tokoh agama, tokoh adat, dunia usaha, media massa, dan lapisan masyarakat lainnya, melalui regulasi yang dapat diimplementasikan dengan baik, maupun menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif, dalam bentuk informasi, maupun materi edukasi kepada masyarakat luas yang diolah dalam bahasa sederhana agar mudah dimengerti anak dan keluarga. Ini bukanlah hal yang mudah, namun jika kita bersinergi pasti akan lebih mudah mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia,” tutur Lenny.

Pada acara ini, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas, Woro Srihastuti mengungkapkan bahwa seluruh pihak harus bersinergi tidak hanya dalam upaya mencegah perkawinan anak saja, namun menyediakan dan memastikan pelayanan kesehatan bagi anak yang sudah menikah juga sangat penting untuk dilakukan. 

“Kita memang fokus pada upaya pencegahan, tapi kita tidak boleh meninggalkan mereka yang sudah terlanjur menikah di usia anak. Kita harus pastikan bisa tetap memberikan layanan-layanan kesehatan yang optimal bagi mereka. Misalnya menyediakan layanan kesehatan reproduksi untuk memantau kesiapan baik dari sisi psikologis maupun biologis anak agar bisa melahirkan anak yang sehat. Untuk itu, perlunya penguatan peran seluruh masyarakat dalam mengawal perkawinan anak, serta pentingnya data yang jelas untuk memastikan layanan yang diberikan dapat berjalan dengan baik dan optimal,” jelas Woro.

Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Erna M. mengungkapkan pentingnya memberikan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi tidak hanya saat anak menginjak usia remaja, tapi dimulai sejak anak masih balita. “Untuk menyiapkan generasi unggul, bisa dicapai apabila pelayanan kesehatan diberikan secara optimal sejak anak masih di dalam kandungan sampai menginjak usia reproduksi. Pentingnya memastikan anak tumbuh sehat dan berdaya saing dengan dibekali pengetahuan kesehatan reproduksi sedini mungkin, sesuai usia dan kondisi anak, baik secara formal dalam pendidikan maupun informal dalam masyarakat,” terang Erna.

Perwakilan Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM PP POGI, dr. Arietta Pusponegoro menjelaskan bahwa perkawinan anak akan menghasilkan kehamilan di usia muda yang sangat berisiko menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas maternal. “Saya menegaskan bahwa semua pemeriksaan kehamilan di usia remaja harus dirujuk ke rumah sakit, tidak boleh ditangani di puskesmas atau di bidan. Ini akan membahayakan anak sebagai ibu maupun bayinya. Masa kehamilan, melahirkan, dan nifas yang terbaik yaitu pada usia 20-35 tahun, mengingat pada usia ini periode fertilitas tertinggi, insiden kelainan kromosom janin terendah, resiko komplikasi kehamilan terendah, dan mencegah kanker serviks,” jelas Arietta.

Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Eva Devita Harmoniati menuturkan perkawinan anak memberikan dampak negatif tidak hanya pada kesehatan fisik ibu yang masih remaja tapi juga kesehatan mental seperti baby blues, depresi, ansietas, sulit bonding dengan bayinya, hingga berpikir bunuh diri atau menyakiti bayinya. Selain itu  dampak jangka panjang kesehatan bayi yang dilahirkan, seperti berat lahir rendah, prematuritas, malnutrisi, stunting, gangguan perkembangan, pencapaian akademis rendah, serta berisiko mengalami kekerasan dan penelantaran.

“Masalah perkawinan anak bukanlah masalah di satu fase kehidupan tapi dapat berlanjut pada generasi selanjutnya. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegahnya. Diperlukan kerjasama multisektor dan bila perkawinan anak terjadi, maka perlu intervensi dini yang komprehensif pada remaja hamil,” tutup Eva. (ANP)