Makin Ramai Kader Demokrat Menggugat

ANP • Monday, 22 Feb 2021 - 23:13 WIB

Jakarta - Polemik yang dialami Partai Demokrat semakin 'panas' pasca diumumkannya rencana adanya kudeta oleh Ketua Umum Partai Agus Harimurti Yudhoyono. Kini, para senior dan pendiri Partai Demokrat menggugat untuk menyelamatkan partai berlambang merci tersebut. 

"Kami, kader Partai Demokrat menggugat untuk mengembalikan dan menegakan Demokrat menjadi partai modern dan terbuka," ujar Politisi Senior Partai Demokrat Max Sopacua,  Senin (22/2/2021).

Max menyampaikan, hal yang membuat kader PD menyampaikan gugatan yaitu elektabilitas Partai Demokrat dari beberapa lembaga survey ternama semakin merosot. Berdasarkan survei Litbang Kompas yang dirili Februari 2021, yang dilakukan pada Desember 2020 hingga Januari 2021 dengan 2000 responden menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Demokrat hanya 4,6%. Sedangkan berdasarkan Lembaga Survei Indonesia yang dirilis Senin ( 22 / 2) , elektabilitas   Partai Demokrat hanya 5,4%, sementara perolehan suara Partai Demokrat saat Pemilu 2019 adalah 7,7 %.

Mantan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini mengatakan, sebenarnya kondisi obyektif baik dari sudut pandang kader ataupun dari sudut masyarakat luas, maka sesungguhnya atau fakta obyektifnya penyebutan Kubu yang benar adalah Kubu Dinasti SBY dan Kubu Garis Lurus.  Kubu Dinasti SBY adalah kelompok kader yang ingin mempertahankan kemapanan Partai Demokrat untuk tetap menjadi Partai Dinasti SBY. Sedangkan Kubu Garis Lurus adalah kelompok Kader yang berkehendak menyelamatkan, mengembalikan dan meluruskan cita cita Partai Demokrat sebagaimana awal didirikan yaitu sebagai partai modern dan partai terbuka. 

"Itulah landasan kita berjuang, yang ditanamkan oleh Para Pendiri pada saat awal. Tetapi dalam kepemimpinan SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dikerdilkan menjadi partai keluarga," kata Max Sopacua.

Senior Partai Demokrat itu pun  bercerita, setelah Kongres Pertama Partai Demokrat di Bali 2005, kemudian dilanjutkan dengan diselenggarakannya Musda di provinsi, dan Muscab di tingkat Kabupaten dan kota, berbondong bondong ada yang Gubernur dan ada para Bupati masuk memimpin, mengambil Posisi menjadi Ketua DPD dan DPC. Namun tidak ada yang mengusik mempertanyakan, kapan Kepala Daerah yang bergabung ke Partai Demokrat pada saat itu membuat KTA.

"Oleh karena sejatinya Partai Demokrat memang berasaskan Partai modern dan terbuka. Sebagai akibat sinergisitas putra-putra terbaik itulah, mulai dari kepemimpinan nasional Pak SBY dan bergabungnya putra-putra terbaik di masing-masing daerah maka Partai Demokrat menjadi partai besar dan partai pemenang di Pemilu 2009," kata Max. 

Pasca 2009, selanjutnya berubah menjadi babak baru, setelah Anas Urbaningrum digantikan SBY menjadi Ketua Umun produk KLB di Bali 2013, dan putranya Edy Baskoro Yudhoyono tetap menjadi sekjen. Maka mulai saat itulah masyarakat menyetempel Partai Demokrat adalah Partai Keluarga.

Meskipun SBY menakhodai langsung sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan kala itu juga masih menjabat Presiden Republik Indonesia , namun Partai Demokrat di Pemilu 2014 perolehannya malah menurun menjadi 10%. 

"Pada kongres 2015 di Surabaya, kembali SBY mengukuhkan sebagai Ketua Umum, setelah menghadang paksa pencalonan Marzuki Ali. Padahal SBY pada KLB Bali berjanji, tujuan menganti Anas Urbaningrum hanya untuk mengantarkan  sampai Konggres 2015 saja," kata Max.  

"Seandainya SBY memiliki etika moral politik dan kepemimpinan yang baik, tentunya mempersilahkan Marsuki Ali untuk menjadi Ketua Umum di KLB Bali 2012 tersebut, mengingat Marsuki Ali adalah runner up Konggres Bandung 2010. Siapa sangka guru politik yang selalu menanamkan jujur cerdas dan santun kepada kader Demokrat, ternyata beliau sendiri yang tidak jujur," sambungnya.

Dalam kepengurusan DPP 2015-2020, lanjut Max, jabatan-jabatan strategis di jajaran pengurus DPP dikuasai oleh keluarga. Bahkan kemampuan AHY diujicobakan pada Pilgub DKI tahun 2017 dan kita semua tahu gagal . Setelah itu SBY menobatkan AHY sebagai Komandan Tugas Utama(Kogasma) yang fungsinya memenangkan Pemilu 2019 dan hasilnya pun kalah telak dan perolehapun menurun hingga 7,7 %," tegas Max.

"Lagi-lagi partai yang dikelola dengan manajemen keluarga tidak dapat membuktikan membesarkan dan  memenangkan Partai Demokrat," katanya. 

Terlebih setelah sejak kepemimpinan SBY hingga ke kongres AHY 2020 menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dengan cara aklamasi yang dipaksakan. Menurut Max, kongres tersebut  jadi-jadian, tidak ada tata tertib, tidak ada pertanggung jawaban keuangan dan program, bahkan AD/ART 2020 dibuat diluar setelah konggres sesuai dengan versi dan kemauan SBY.

Hal lain yang digugat kader daerah adalah bukannya DPP membantu uang pembinaan ke daerah, malah sebaliknya justru getol memungut baik dari gaji anggota DPRD provinsi dan kabupaten, maupun dari dana dana pemilukada seluruhnya diambil DPP.

"Belum lagi kewenangan daerah diamputasi, dalam hal menentukan calon bupati maupun kewenangan pengangkatan jabatan organ di DPRD, semuanya adalah menjadi kewenangan penuh di DPP. Sehingga kewenangan DPP dan DPC di daerah hanya sisakan menjadi tukang politik jaga pintu," pungkas Max. (ANP)