Jokowi Effect: Jadi Sasaran Tembak, Elektabilitas PDIP Malah Naik

ANP • Thursday, 25 Feb 2021 - 11:41 WIB

JAKARTA - Membaca hasil survei dan melihat elektabilitas PDIP cenderung naik, membuat saya terkejut. Pasalnya, serangan ke partai ini datang bertubi-tubi akhir-akhir ini. Sang banteng dijadikan target. 

Di media sosial, tagar yang menyudutkan partai ini terus diorkestrasi. Kebencian terhadap Jokowi ditembakkan ke partai pendukung utamanya. Mungkin mereka berpikir, jika partai ini tumbang, Jokowi juga akan selesai. Pamornya meredup.

Atau minimal ia tak akan bisa menunjuk penerusnya. Seseorang yang lahir dari rakyat. Memiliki etos kerja yang kuat. Bukan sosok karbitan atau karena faktor keturunan. 

Melihat intensitas serangannya, yang bermain di kubangan ini bukan main-main. Ada duit besar yang dikucurkan. 

Saya juga melihat Tempo ikut turun gunung. Framing culas yang biasanya disasarkan ke Jokowi, kali ini merembet ke partai moncong putih. 

Mereka mengorek-orek sesuatu yang tidak ada. Mengait-ngaitkan satu petunjuk ke petunjuk lainnya. Mirip orang pasang togel. Semua firasat, mimpi, dan celoteh orang yang dianggap pintar menjadi buku panduan. Tidak ada akal sehat di sana. Apalagi etika jurnalistik. 

Hanya waton sulaya, waton jeplak (asal nyinyir, asal mangap). 

Memang, untuk urusan dapur, segala cara akan digunakan orang. Sebab bertahan hidup adalah tujuan utama makhluk hidup. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan upaya untuk survive di tengah ancaman kebangkrutan. 

Meskipun kalau bisa, jangan sampai menggadaikan akal sehat. Jurnalistik itu ada pakemnya, ada etikanya. Bukan asal crot tanpa sumber yang jelas. 

Namun yang mengejutkan, upaya untuk meredupkan pamor PDIP melalui kasus korupsi Bansos, ternyata sia-sia. PDIP menjadi satu-satunya partai yang justru mengalami kenaikan elektabilitasnya. 

Konon angka tiga persen itu berkat kinerja Jokowi yang dianggap memuaskan rakyat. Ingat, Jokowi adalah kader PDIP, prestasi yang dilakukan Jokowi dengan sendirinya mendorong nama partai itu naik. Bisa disebut, ini Jokowi effect. 

Barangkali ini yang tidak dihitung oleh orang-orang yang mengorkestrasi serangan ke PDIP. Selama Jokowi bersikap jujur dan bekerja keras, hal itu akan menjadi tameng. Bahwasanya masih banyak kader bersih dan tumbuh bersama rakyat. 

Apalagi ketika Risma ditunjuk sebagai pengganti Juliari. Jejak kepemimpinannya begitu membekas di Surabaya. Sekali gebrak dua-tiga Anies terlampaui olehnya. 

Selain itu, PDIP tidak bisa disamakan dengan partai lain, misalnya Demokrat. Moncong putih itu partai ideologis. Di masa lalu, ribuan orang rela mati untuk membela partai ini. Orang-orang itu mungkin kini telah menua, namun rembesan semangat itu masih ada. 

Memang persoalan PDIP dan semua partai adalah soal regenerasi. Bagaimana menularkan kecintaan itu pada generasi berikutnya. Bagaimana melahirlan barisan pasukan berani mati selanjutnya. 

Namun jika hanya untuk menghadapi cecunguk, para kadrun, termasuk Tempo, PDIP jelas di atas angin. Soeharto yang begitu digdaya saja tak mampu menghentikan langkahnya. 

Represi yang dilakukan lelaki tua dari Kemusuk itu justru malah mengasah mental kader partai ini menjadi semakin militan.

Naiknya elektabilitas PDIP adalah sebuah anomali. Saya tidak tahu apa reaksi orang-orang yang saat ini berjuang mati-matian untuk meredupkannya, ketika mengetahui fakta ini. Nangis jerit-jerit atau sibuk bikin album. 

Semua hal telah mereka lakukan. Jurnalistik ecek-ecek jadi ujung tombak serangan. Framing jahat telah tanpa henti dilepaskan. Tim siluman bergerak untuk terus melakukan penggembosan. 

Tapi dengan semua upaya itu, mengutip istilah Jawa, "kaya nguyahi segara". Seperti menggarami lautan. Sia-sia. Dan sekarang mereka gigit jari. 

Hasil survei tentang kenaikan elektabilitas PDIP itu memang mengejutkan. Padahal mestinya dengan seluruh orkestrasi serangan tersebut, partai ini mestinya berdarah-darah. Pamornya redup dan harapan di 2024 hanya sebagai penggembira. 

Kalau saya saja terkejut, apalagi yang sudah keluar modal banyak itu. Mungkin sekarang sedang menenangkan diri. Masak nasi goreng atau sedang menciptakan lagu. Tentang keprihatinan. Tentang siasat untuk dianggap sebagai korban. Sayangnya, Tuhan tidak suka," ucapnya. (ANP)