Jangan Gagal Paham, Ini Penjelasan Ahli Soal Unrealized Loss (UL)

FAZ • Thursday, 4 Mar 2021 - 16:33 WIB

Jakarta - Fenomena Unrealized Loss (UL) seakan menjadi momok karena berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi, itu sangat menakutkan bagi para perusahaan yang mengelola dana publik seperti BPJAMSOSTEK dan juga perusahaan-perusahaan sekuritas di pasar bursa. Karena kalau terjadi UL, mereka bisa terancam pidana.

Hal tesebut dikarenakan adanya sorotan mengenai fenomena UL yang dialami BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) langsung dicap sebuah kerugian mutlak, padahal tidak. Kita akan kupas sedari awal agar masyarakat tidak salah paham terkait UL. Kita bakal kupas tuntas soal fenomena UL dari berbagai kacamata pakar.

Menurut Pengamat Hukum Pasar Modal Indra Safitri, siapa saja yang ingin berinvestasi disebut investor.

Suatu kerugian yang belum direalisasikan belum terjadi, belum bisa disebut kerugian, karena memang kondisi pasar yang bisa berubah, bisa naik turun. 

Mari kita melongok UU NO 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU NO 8 Tahun 1995 tentang pasar modal.  Kalau dilihat kerugian tentu kita tidak bisa memisahkan dengan hukum yang mengatur investasi. Pasar itu selalu berubah, dalam hitungan jam saja pasar bisa berubah-ubah. 

Untuk mengurai kasus pidana di pasar modal membutuhkan waktu, dan harus diuraikan. Asetnya bagaiamana, apakah asetnya didapat dari kejahatan semua itu membutuhkan proses yang cukup panjang.

Kalau bicara UL, dalam pengetahuan Indra tentu dalam konteks kerugian, itu belum terjadi, hanya ada factor perhitungan maka dikatakan rugi. Sebenarnya siapa saja yang masuk ke pasar tentu treatmentnya sama, kalau modal negara yang berinvestasi dalam pasar modal rugi, tentu itu dalam pasar modal itu adalah kerugian negara. Tapi negara juga ada untung. Ini ada keseimbangan, kapan dia untung, kapan dia rugi. Kalau Negara tidak ingin rugi, negara tidak usah berinvestasi di pasar modal, pasar bisa rugi dan bisa untung.

Kalau ingin melihat investasi dalam pasar modal, ita harus konsisten menggunakan perangkat yang ada dalam industri pasar modal ini.

Posisinya BPJAMSOSTEK itu sebagai investor. Kalau ditanya terjadi kerugian karena produknya palsu, atau produknya tergolong dari penipuan hukum. Tapi misalnya sahamnya lahir karena perbuatan melawan hukum, ada mekanisme pengawasan, mekanisme transaksi secondary market, investor yang dirugikan.  Kalau misalnya ada BUMN yang  berinvestasi, lihat, kalau ada unsur yang melawan hukum, biasanya kick back, suap, tapi kadang-kadang ada juga suap tapi saham yang dibeli saham  blue chip.

Profesor Keuangan dan Investasti IPMI Internasional Bisnis School, Roy Sembel membandingkan kasus yang menimpa BPJAMSOSTEK dengan Jiwasraya. Kalau kasus Jiwasraya mulainya lebih dari 1 dekade lalu, karena pengelolaannya miss match dengan data statistik yang ada. Kasus Jiwasraya itu ditenggarai melibatkan pemilihan menejer investasi dengan proses kurang good governance dan trading saham yang goreng-gorengan.

Sementara hasil investasi BPJAMSOSTEK masih positif. Perbedaannya Jiwasraya memang sudah rugi, kalau BPJAMSOSTEK masih untung. Pemilihan Menejer Investasi (MI), BPJAMSOSTEK ketat, Jiwasraya longgar, karena itu Jiwasraya sedang terdesak.

Alokasi aset BPJAMSOSTEK itu hanya 17%, tapi Jiwasraya karena mengejar high risk high return maka lebih besar. Alokasi portofolio BPJAMSOSTEK 95% saham LQ45, artinya fundamental dianggap bursa bagus, sementara Jiwasraya saham “goreng-gorengan”. Namanya market turun, apalagi 2020 kuartal 2 dan 3, memang kalau market turun, mau itu saham dengan fundamental bagus, ya tetap turun.

Tapi selama itu belum dijual kembali, itu baru di atas kertas (belum terealisasi), dan kebetulan memang dibuktikan bahwa ketika market naik, maka UL di BPJAMSOSTEK juga menurun. UL ini dianggap wajar, karena kalau dilihat dari strategi investasinya, aset alokasinya dan tactical alokasinya itu mencerminkan tidak ada hal-hal aneh, kalau ada UL itu artinya market bergejolak. Investasi itu ada potensi returnnya, tapi ada resikonya juga

Senada dengan itu, Pimpinan Redaksi Infobank Eko B. Supriyanto juga memantau fenomena yang dialami BPJAMSOSTEK. Data yang ada, invetasi BPJAMSOSTEK itu sangat besar, sekitar Rp450 triliun. Seandainya tidak ada investor sekelas BPJAMSOSTEK, banyak juga saham BUMN yang turun seperti Garuda. Bayangkan Bursa Efek Indonesia (BEI) tanpa BPJAMSOSTEK,  Eko berkeyakinan bakal ambrol.

Berdasarkan studi kasus dan annual report pada BPJAMSOSTEK dan laporan tahunan BPJAMSOSTEK, hasil investasi bruto, selama 5 tahun setidak-tidaknya itu ada Rp130 triliun. Nilai Rp33 triliun adalah keuntungan (gain) dari saham, jadi selama ini sudah ada gain yang sudah realized.

Eko berpendapat, hal tersebut merupakan angka yang patut dihargai.  UL ini berubah-ubah, pada Desember 2020, UL BPJAMSOSTEK itu Rp22,308 triliun, namun pada 20 Januari 2021 menjadi Rp 14,417 triliun.