Kunjungan Masyarakat ke Perpustakaan Mash Rendah

AKM • Monday, 22 Mar 2021 - 22:04 WIB

Jakarta - Banyak cara mengetahui tingkat minat masyarakat ke perpustakaan, salah satunya dengan menggelar survei kepada masyarakat. Survei akan menjadi indikator dalam melihat pola dan tingkah laku maayarakat termasuk kunjungan ke perpustakaan.

Hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik 2019 menyebutkan hanya sekitar 13,02% penduduk usia lima tahun ke atas yang datang ke perpustakaan. Sebagian besar dari mereka yang datang ke perpustakaan karena ingin meminjam atau membaca buku pelajaran.

“Dalam survey tersebut menunjukkan dominasi bacaan yang dibaca mereka ketika mengunjungi perpustakaan adalah buku pelajaran (80,83%) dan  kitab suci (73,65%),” kata Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno pada kegiatan Rakornas Bidang Perpustakaan 2021 yang digelar secara virtual, pada Senin, (22/3).

Selain angka kunjungan ke perpustakaan yang rendah, kurangnya ragam bahan bacaan yang dibaca siswa juga berdampak pada rendahnya aktivitas literasi membaca secara nasional.

Padahal berkaca pada hasil PISA, siswa yang menghabiskan lebih banyak dalam seminggu untuk membaca sebagai hiburan di waktu luang, memiliki skor lebih tinggi dibanding dengan yang tidak atau kurang senang membaca.

Di lingkup negara ASEAN, skor PISA Indonesiahanya lebih baik dari Filipina. Bahkan, provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta jauh lebih baik dari skala nasional. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan mutu.

PISA juga mengungkapkan tren dan permasalahan hasil belajar pendidikan dasar dan menengah selama 10 tahun terakhir cenderung stagnan. Indonesia masih konsisten sebagai salah satu negara dengan peringkat PISA terendah.

Latar fakta ini mendorong pemerintah mendorong reformas pendidikan dan menelurkan kebijakan lainnya, seperti menambal koleksi perpustakaan sekolah melalui reformasi pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi lebih fleksibel. Jika sebelumnya kebijakan pembelian buku teks dan buku bacaan dialokasikan maksimum 20 persen. Artinya, sekolah dianjurkan membeli buku bacaan untuk mendukung kegiatan literasi para guru dan siswa.

“Sesuai Permendikbud Nomor 8 Tahun 2000 dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2001 tentang petunjuk teknis BOS, pada 2020 dan 2021 alokasi untuk pembelian buku teks dan bacaan lainnya dihilangkan. Tidak ada lagi ketentuan alokasi maksimum. Namun, tujuannya tetap sama, selain memenuhi kebutuhan buku teks guru dan siswa, juga dianjurkan membeli buku bacaan untuk mendukung kegiatan literasi,” jelas Totok.