Indonesia Perlu Genjot Lahirnya Banyak Pengusaha Baru Melalui Kampus

ANP • Thursday, 8 Apr 2021 - 19:26 WIB

JAKARTA - Untuk keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah menjadi berpenghasilan tinggi, Indonesia perlu terus menambah jumlah entrepreneurnya. Para entrepreneur tersebut berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja. Ini pada gilirannya akan mendorong peningkatan kinerja perekonomian suatu negara. Jika perekonomian negara tersebut terus meningkat, ini akan berkontribusi pada terciptanya masyarakat madani dan sejahtera, serta stabilitas bagi negara tersebut.

Merujuk laporan Global Entrepreneuship Index 2018 (GEI) yang dirilis oleh The Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI), Indonesia masih menempati peringkat ke-94 dari 137 negara. Merujuk laporan GEI, Indeks Entrepreneurship Indonesia masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Brunei Darussalam #53, Malaysia (peringkat 58), Thailand #71, bahkan Filipina #84, dan Vietnam #87.

Laporan GEI ini membahas keterkaitan antara entrepreneurship, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan. Menurut GEDI, entrepreneurship berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja, kinerja ekonomi dan stabilitas di negara tersebut.

Laporan GEI 2018 juga memasukkan data tentang Human Capital Score. Merujuk laporan tersebut, Human Capital Score Indonesia juga masih terbilang rendah, yakni 16%. Bandingkan dengan Thailand yang Human Capital Score-nya 49%, Malaysia 63% atau AS yang 100%.

Kondisi itulah yang membuat Prof. Neil Towers, project leader Growth Indonesia – a Triangular Approach (GITA), menyatakan bahwa masih Indonesia perlu terus menambah jumlah entrepreneurnya. “Skor Human Capital Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tersebut,” kata Prof. Towers yang juga pakar retail marketing dari University of Gloucestershire, United Kingdom, dalam Konferensi Internasional GITA yang diselenggarakan secara virtual pada 8-9 April 2021.

Prof. Towers menambahkan, salah satu tempat untuk mencetak pengusaha-pengusaha baru adalah perguruan tinggi. Di beberapa negara maju, memang banyak pengusaha yang lahir di lingkungan kampus. Mark Zuckerberg mendirikan Facebook saat masih kuliah di Harvard University. Perusahaan-perusahaan seperti Yahoo! Inc., Google, Facebook, FedEx adalah bisnis-bisnis yang lahir dari kampus. Di Amerika Serikat, Stanford University adalah universitas yang banyak melahirkan pebisnis dari lingkungan kampus.

Upaya untuk melahirkan lebih banyak pengusaha dari lingkungan kampus itulah yang dilakukan oleh konsorsium GITA yang dipimpin oleh Prof. Towers. Konsorsium ini beranggotakan tujuh universitas dari Indonesia dan empat universitas dari Eropa. Pada konferensi internasional GITA, Prof. Towers selaku melaporkan bahwa GITA telah melahirkan 112 perusahaan rintisan (startup) baru dengan nilai bisnis mencapai Rp115,4 miliar. Ini adalah bukti nyata keberhasilan GITA dalam melahirkan pengusaha-pengusaha baru dari lingkungan kampus.

Selain itu, pada ajang konferensi internasional tersebut konsorsium GITA juga mengumumkan pemenang kompetisi mahasiswa tingkat nasional untuk proposal bisnis yang berkelanjutan dan pembentukan asosiasi yang melibatkan perguruan-perguruan tinggi anggota konsorsium GITA.

Ekosistem Kewirausahaan

Menurut catatan Financial Times (2015), sebanyak 46% lulusan dari program MBA Babson College, AS, langsung membuka usaha sendiri setamat kuliah. Lalu, 34% lulusan Stanfords Graduate School of Business juga langsung berbisnis sendiri setelah lulus. Di Harvard Business School, sebanyak 28% lulusannya yang langsung berwirausaha. Sementara di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management angkanya mencapai 26%.

Di Inggris, ada 27% dari lulusan Oxford University yang memilih untuk berkarier sebagai pengusaha. Sementara, di London Business School sebanyak 25% lulusannya juga memilih berkarier sebagai wirausaha.

Di masa mendatang, angka ini diperkirakan bakal terus meningkat. Di Inggris, sebagaimana dikutip www.sifted.eu, saat ini sekitar 25% mahasiswa di sana berencana memulai usaha sambil terus kuliah. Itu survei tahun 2019. Angka tersebut meningkat lebih dari 30% ketimbang tahun 2016. Hasil survei inilah yang mendorong banyak kampus di Inggris mendirikan inkubator bisnis dan program- program lainnya untuk mendorong mahasiswanya agar berani mendirikan perusahaan rintisan, terutama yang berbasis teknologi.

Rektor President University Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto mengatakan jika ingin menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara seperti AS, Inggris, atau Jerman, Indonesia harus menjadikan kampus-kampusnya sebagai kawah candradimuka untuk mencetak lahirnya pengusaha-pengusaha baru.

“Untuk sampai ke sana, tentu banyak hal yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi. Kami di President University, misalnya, bahkan sampai merombak kurikulum dengan memasukkan mata kuliah Entrepreneurship sedini mungkin. Kami juga mendirikan inkubator bisnis, menggandeng para praktisi bisnis untuk menjadi mentor dan investor bagi bisnis-bisnis yang dirintis oleh mahasiswa,” katanya.

Itu semua belum cukup. Lanjut Prof. Jony, kampus juga perlu memiliki paradigma kewirausahaan dan harus mampu membangun ekosistem entrepreneurial yang melekat dalam praktik bisnisnya sehari-hari. Intinya, kampus perlu bertransformasi menjadi Entrepreneurial University.

Upaya kampus-kampus untuk melahirkan lebih banyak pengusaha baru tersebut mendapat sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., menjelaskan bahwa melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka perguruan tinggi dituntut untuk mempersiapkan kompetensi mahasiswanya. Salah satunya adalah kompetensi untuk menjadi seorang wirausahawan.

“Salah satu program dari Merdeka Belajar, Kampus Merdeka adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama tiga semester. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa boleh memilih serangkaian aktivitas. Di antaranya, melakukan kegiatan wirausaha dengan bimbingan dosen,” papar Prof. Nizam.

Prof Ismunandar, Pelaksana Tugas Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan serta staf ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, menjelaskan Indonesia baru bisa menjadi negara maju kalau jumlah pengusahanya terus bertambah.

“Saat ini baru sekitar 3% dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pengusaha. Jumlah ini masih terlalu sedikit. Amerika Serikat dan Jepang menjadi negara maju karena lebih dari 10% penduduknya yang berwirausaha. Untuk itu Kemenristek/BRIN akan terus mendorong kampus-kampus agar mampu mencetak lebih banyak lagi pengusaha baru. Untuk itu kampus perlu membangun ekosistem kewirausahaan,” ujarnya. (ANP)