Hapus Kekerasan Seksual di Kampus, Kemendikbud Siapkan Regulasi 

AKM • Friday, 30 Apr 2021 - 17:55 WIB

Jakarta -  Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggelar diskusi daring “Ngobrol Intim: Yang Muda, Yang Berjuang untuk Setara" bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim. Acara yang merupakan hasil kolaborasi bersama Jaringan Muda Setara ini digelar dalam rangka menutup Bulan Kepedulian dan Pencegahan Kekerasan Seksual serta menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Saat ini, Kemendikbud tengah menyiapkan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. “Bagi kami di Kemendikbud adalah harga mati, tidak ada toleransi bagi kekerasan seksual di unit-unit pendidikan kita. Peserta didik dan pengajar kita harus bebas dari kekerasan seksual dan harus merasa aman untuk melaporkan isu-isu yang ada,” tegas Mendikbud.

“Kita akan sangat hipokrit kalau kita mengajarkan Pancasila, tapi aspek-aspek Ketuhanan Yang Maha Esa dan moralitas tidak kita junjung tinggi,” terang Mendikbud.

Ditegaskannya lagi, "Kita harus melindungi yang terkena pelecehan dan kekerasan seksual. Kalau pemerintah tidak hadir untuk menciptakan ruang publik untuk mengeradikasi (memusnahkan) hal-hal negatif seperti ini, bagaimana masyarakat bisa melaporkan kasus kalau tidak ada dukungan dari pemerintah? Guru, murid, dosen, dan mahasiswa harusnya merdeka melaporkan kekerasan seksual yang terjadi,” ujar Mendikbud.

Pada kesempatan ini, Mendikbud menegaskan kembali esensi dari Merdeka Belajar. “Kekerasan seksual harus dibasmi dari institusi pendidikan kita. Bagaimana mau merdeka belajar kalau murid-murid kita tidak bisa merdeka dari kekerasan seksual?” tutur Mendikbud pada dialog yang disampaikan secara virtual di Jakarta, Selasa (27/4).

Mendikbud menekankan, bahwa Kemendikbud berupaya menerapkan nilai-nilai Pancasila untuk menghapus tiga dosa besar di dunia pendidikan, yaitu intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan. Mendikbud mengakui bahwa tiga topik di atas kelihatannya berbeda. 

“Tetapi ujungnya ini adalah gejala krisis moral dalam institusi pendidikan dan masyarakat kita. Jadi, agar anak-anak kita bisa merdeka belajar, mereka harus bisa merdeka dari intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan. Merdeka dari apapun yang akan menjajah potensi, kesehatan mental mereka. Karena itulah Merdeka Belajar tidak dapat dipisahkan dari upaya kita mendobrak tiga dosa ini,” jelas Mendikbud.

Pada acara ini, Mendikbud turut merespons pertanyaan dari tiga orang perwakilan generasi muda dan mahasiswa. Yang pertama adalah Nissi Taruli Felicia, mahasiswi Universitas Bina Nusantara Jakarta, yang juga merupakan seorang penyandang tuli. Nissi bertanya pada Mendikbud tentang cara agar mahasiswa difabel bisa mendapatkan akses yang lebih baik dalam pendidikan, termasuk dalam melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

Mendikbud menjelaskan bahwa Permendikbud No. 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi telah mengatur agar setiap WNI termasuk penyandang disabilitas dapat menempuh dan menyelesaikan studinya dengan aman dan optimal. Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual juga dirancang dengan menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dengan mengatur kesetaraan akses, khususnya bagi difabel. Juru bahasa isyarat dan penyederhanaan alur serta mekanisme pelaporan adalah beberapa hal yang akan diatur.

"Inklusivitas merupakan materi utama kampanye melawan Kekerasan Berbasis Gender Online yang kami lakukan melalui Puspeka. Kami sadar perlu penanganan khusus bagi teman-teman difabel sebagai yang rentan dari yang rentan," tambah Mendikbud. 

Mahasiswa laki-laki, menurut Mendikbud, juga harus turut ambil peran aktif membela hak-hak kesetaraan gender serta mengecam kekerasan seksual dan berbagai intoleransi di kampus. “Saya mengajak mahasiswa laki-laki juga untuk turut bergerak bersama mewujudkan kesetaraan gender di kampus-kampus kita,” imbau Mendikbud.

Selain itu, Mendikbud berharap komunitas mahasiswa dapat saling mendukung untuk mengekskalasi laporan kekerasan seksual, termasuk untuk memperhatikan teman-teman dan warga kampus yang difabel agar dapat turut menyuarakan isu kekerasan seksual.

“Yang jelas, kalau Permendikbud-nya sudah keluar, tidak mungkin kita tidak monitor real time. Supaya isu-isu ini tidak mentok di perguruan tinggi, kuncinya adalah menciptakan multi-channel untuk meningkatkan transparansi agar tercipta check and balance di internal kampus,” jelas Mendikbud.

“Selain itu, butuh badan-badan di dalam kampus yang independen di mana mahasiswa dan komunitas mahasiswa menjadi bagian penting dalam badan ini, yang harus bisa memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk mengekskalasi laporan,” imbuh Nadiem.

Ia pun menegaskan bahwa penindakan indisipliner bagi dosen atau mahasiswa harus dapat dilakukan jika sudah cukup banyak bukti kuat. “Kita bukan hanya kampanye. Tetap perlu sanksi dan hukuman bagi para pelaku. Penindakan adalah bagian dari kebijakan kita,” ungkap Mendikbud.

Mahasiswi dari Jakarta, Annisa Nurul Hidayah Surya, bertanya apa saja tantangan yang dihadapi Kemendikbud dalam menyusun Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dan cara mengatasinya.  

Dijawab Mendikbud, yang pertama adalah keberanian mengeluarkan peraturan dengan sebaik-baiknya. “Kita punya tim khusus di Kemendikbud untuk menangani peraturan ini,” terang Mendikbud.

Kedua, adalah mendorong konsensus bersama instansi-instansi lain yang terkait agar tercipta keselarasan dengan peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. “Agar tidak tumpang tindih dan klop dengan aturan-aturan yang lain,” tambah Mendikbud.

Ketiga, adalah menyikapi wilayah abu-abu dalam kekerasan seksual. “Kita harus memastikan bahwa baik di Permendikbud maupun kampanye publik, kita mendefinisikan seluruh spektrum kekerasan seksual yang ada. Hal-hal seperti komentar yang membuat tidak nyaman dan bodyshaming, yang seringkali dianggap tidak masuk kekerasan seksual, padahal masuk kontinum kekerasan seksual. Ini ujung-ujungnya menghasilkan kekerasan seksual, karena terus dikesampingkan dan ditolerir,” tambah Mendikbud.

Mendikbud pun mengakui bahwa tindakan-tindakan seperti itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tetapi juga di instansi pemerintahan dan perusahaan swasta. “Maka sudah saatnya pemerintah mengambil posisi menjelaskan bahwa yang abu-abu ini sebetulnya bukan abu-abu. Ini adalah berbagai macam tindakan amoral yang memberi ruang pada pihak-pihak yang tidak menghormati kesetaraan gender dan hak-hak kita yang sama, sebagai laki-laki dan perempuan. Ini adalah tantangan utama, “ tegas Mendikbud.  

Menurut Mendikbud, kebijakan yang tengah dirancang bukan hanya melindungi salah satu pihak, tapi untuk seluruh korban pelapor kekerasan seksual, baik pendidik maupun peserta didik.

“Namun, ada beberapa hal yang tetap menjadi beban bagi para pendidik, karena merekalah orang dewasa dalam lingkungan pendidikan. Misalnya, ada hubungan antara guru dan peserta didik di kampus atau lingkungan pendidikan dan itu dianggap oke. Itu kan harus diluruskan. Kalau ada position of power, hubungan otoritas, akan selalu rentan tindakan dominan atau intimidasi. Itulah bahayanya sistem power kalau dikaitkan dengan seksualitas, gender, dan posisi. Karena ujungnya adalah dominasi yang kuat kepada yang lemah. Ini yang harus kita cabut ke akar-akarnya,” jelas Mendikbud.