Label Teroris KKB, Tetap Tegakkan Hukum Pidana

AKM • Friday, 7 May 2021 - 11:04 WIB

Jakarta - Pemerintah telah menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua menjadi organisasi teroris, tidak serta merta membuat potensi pelanggaran hak azasi manusia (HAM) meningkat. Sebab, pelanggaran HAM tidak tergantung dari penetapan status.

“Potensi pelanggaran hak azasi manusia itu tidak tergantung pada pemberian atau penetapan statusnya. Tapi tergantung pada karakter-karakter dan juga kultur dari aparatur keamanan dan pertahanan kita, itu yang paling penting,” kata Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ‘Papua Adalah Indonesia’ di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/5/2021).

Oleh karena itu, meski statusnya telah ditetapkan sebagai gerakan radikal dan teroris, namun dalam operasi yang dijalankan harus tetap mengedepankan penegakan hukum. Sehingga sebagai kelompok kriminal bersenjata, akan dikejar dan ditindak sebagai pelaku tindak pidana umum KUHP.

Setelah ditangkap bisa dikenakan pasal makar. “Makar bersenjata terhadap pemerintah, sampai juga tindak pidana umum lainnya misalnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan pembakaran dan lain sebagainya,” ucap Arsul yang juga Wakil Ketua MPR RI.

Anggota Komisi Hukum DPR ini menambahkan, ketika KKB ditetapkan sebagai teroris, maka ada kerja besar yang harus dilakukan oleh institusi terkait.

“Tak hanya terbatas Polri dan TNI. Karena menetapkan sebagai organisasi teroris membuat pemerintah harus melakukan kerja-kerja pencegahan,” ujarnya.

Termasuk juga kontra radikalisasi dan deradikalisasi untuk masyarakat Papua. Diharapkan, KKB tidak bertambah besar.

“Sehingga, penetapan KKB sebagai teroris jangan dimaknai sebagai langkah untuk meningkatkan potensi pelanggaran HAM. Namun sebagai upaya dalam konteks mempertahankan NKRI dari upaya kelompok tertentu yang ingin memisahkan diri dari Indonesia,” tandasnya.

Pembicara lainnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik mengingatkan membuat narasi Papua selalu ada dalam masalah, sebenarnya merupakan narasi yang salah.

Oleh karena itu, kalau dikatakan tidak ada hasil pembangunan di Papua termasuk dana otonomi khususnya yang cukup besar digelontorkan, perlu menggunakan parameter yang tepat.

Akmal memahami betapa rumitnya membangun tata kelola di Papua karena faktor wilayah yang luas dan masyarakatnya yang terdiri dari banyak suku-suku yang berbeda di dalamnya.

Untuk itu, ke depan Pemerintah mendorong semua harus didudukan secara proporsional. Bahwasanya adalah hal yang belum tercapai harus diakui iya, tetapi banyak juga pembangunan yang sudah dicapai di Papua.

“Banyak sekali hal yang sudah dilakukan untuk Papua sebagai bagian dari NKRI,” kata Akmal.