Wacana Kenaikan PPN, PKS: Perlebar Kesenjangan Ekonomi

MUS • Friday, 28 May 2021 - 12:14 WIB

Jakarta — Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Mucharam mengingatkan terkait rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi.

“UUD 1945 mengamanatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, tetapi nyatanya ketimpangan masih nyata terjadi. Sebagian kecil orang menguasai lebih dari 50 persen aset nasional. Hal ini diperparah dengan semakin tingginya ketimpangan fiskal. Subsidi dan bantuan sosial terus dipangkas, insentif perpajakan untuk orang kaya diperbesar. Di saat Pemerintah mewacanakan akan meningkatkan tarif PPN menjadi 15 persen, yang jelas hal tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat luas, PPNBM malah dipotong. PPNBM notabane nya adalah pajak untuk orang berpendapatan tinggi. Dari sana kita dapat menyaksikan secara gamblang terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan dalam kebijakan fiskal”, paparnya saat menanggapi Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun 2022.

Menurutnya berdasarkan dokumen KEM-PPKF 2022, ditulis secara jelas bahwa strategi Pemerintah adalah perluasan basis perpajakan (ekstensifikasi). Sehingga perlu ada kejelasan dan konsistensi kebijakan dari Pemerintah.

“Kami berpendapat kenaikkan tarif PPN akan kontraporduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri”, imbuhnya.

Harus diakui menurutnya bahwa pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih jauh di bawah potensi yang ada. Rasio PPN terhadap PDB hanya mencapai 3,6%, sangat rendah dari standar negara-negara secara umum yang mencapai 6% hingga 9%. Sehingga, potensi penerimaan PPN dipekirakan masih mencapai 32% dari potensi yang ada.

“Tetapi, dibandingkan meningkatkan tarif yang akan berdampak kepada masyarakat secara umum, seharusnya Pemerintah fokus memperluas basis perpajakan PPN”, tandasnya.

Anggota Komisi XI DPR RI ini juga mendorong Pemerintah untuk menyusun target pendapatan, terutama penerimaan perpajakan yang realistis. Terjadinya shortfall perpajakan pada dasarnya perlu diantisipasi sejak awal, terlebih masih lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat dampak pandemi, deindustrialisasi dini dan ketidakpastian perekonomian global.

“Kami menilai bahwa target pendapatan negara masih terlalu ambisius. Apabila dibandingkan dengan target 2021, maka target penerimaan perpajakan pada KEM-PPKF mengalami pertumbuhan sebesar sampai 5,2 persen. Target pendapatan negara juga, dengan skenario optimis juga akan tumbuh 8,6 persen dibandingkan target 2021. Pemerintah harus mengatur target pendapatan ini secara lebih realistis. Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen saja, penerimaan perpajakan hanya tumbuh sebesar 3,3 persen. Lebih lanjut, dengan masih lambatnya progress vaksinasi, baik di Indonesia, dan potensi gelombang Covid ke-3 di sejumlah negara, maka diperkirakan permintaan global masih lemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pendapatan”, paparnya.

Ecky juga mengingatkan terkait kinerja program PEN, khususnya untuk insentif perpajakan, di tahun 2020 yang masih jauh dari optimal. Untuk insentif perpajakan, dari pagu Rp 120 triliun, realisasinya hanya mencapai 46,8%. Hal ini menjadi miss opportunity yang besar, terutama tambahan anggaran untuk program PEN dibiayai oleh tambahan utang, yang menjadi beban APBN ke depannya.

“Lebih lanjut, insentif perpajakan banyak dinikmati oleh pelaku usaha skala besar, bukan UMKM. Berdasarkan data, dari total nilai realisasi insentif perpajakan pada program PEN, hanya 1,17% yang dinikmati oleh UMKM,” tegasnya.