Tak Produktif, Setara Institute: Hentikan Polemik TWK Pegawai KPK

MUS • Thursday, 10 Jun 2021 - 09:48 WIB

Jakarta - Pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara bukan saja tidak tepat, tetapi juga berkesan mengada-ada karena seperti terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan yang jumlahnya kurang dari 5,4% dari total pegawai KPK.

"TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara, yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN). Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana," kata  Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

Menurut Hendardi, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.

"Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu  ke  Komnas HAM dan langsung diterima dengan  mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM? Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun," ucap Hendardi.

Ia meminta agar Komnas HAM tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU.  Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.

"Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus, kurang dari 5,4% yang menuntut diistimewakan," ujarnya.

Ia mengakui dalam konteks seleksi ASN bisa saja pelanggaran terjadi, misalnya  seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena  tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.

"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll. tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu," pungkas Hendardi. (Jak)