Akar Pungli Pelabuhan

MUS • Sunday, 13 Jun 2021 - 17:02 WIB

Oleh Siswanto Rusdi        

Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)

Presiden Joko Widodo kembali membetot perhatian khalayak kepada isu kepelabuhanan. Kali ini kepala negara mengangkat praktik pungutan liar (pungli) yang mendera para supir truk kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Beberapa tahun lalu dalam periode pertama kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo juga menyoroti tata kelola pelabuhan yang masih tinggi dwelling time-nya. Sekilas kedua masalah terkesan terpisah, padahal sebenarnya terkait erat antara satu dengan lainnya. Yaitu, di dalam tingginya dwelling time terdapat aktivitas pungli yang tinggi.

Karenannya, kita bisa memahami mengapa kemudian dibentuk satuan tugas (satgas) DT di lembaga kepolisian sejurus sentilan Presiden Jokowi saat mengetahui DT di Pelabuhan Tanjung Priok yang masih berkisar antara 3,2 hingga 3,7 hari saat mengunjungi pelabuhan tersebut pada 2016. Sejak dibentuk, satgas berhasil menggulung aktor-aktor pungli di berbagai pelabuhan di Tanah Air beserta uang haramnya yang bernilai milyaran rupiah. Mereka pun dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sayang, putusan hakim tidak sepenuhnya memuaskan; malah ada yang divonis bebas.

Presiden Joko Widodo kini bicara soal pungli di pelabuhan dengan lebih lugas. Beliau langsung menelepon Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk menyampaikan keluhan para supir truk peti kemas yang tengah berdialog dengannya di Pelabuhan Tanjung Priok. Di sisi lain, satgas pungli (sering juga disebut saber pungli) yang ada di tubuh Polri masih eksis dan tentulah Jokowi mafhum akan perihal ini.

Pertanyaannya, mengapa Presiden secara terbuka mengangkat masalah yang satu ini? Apakah satgas pungli mati suri? Apa Jokowi tidak puas dengan kinerja Tribrata-1?

Ada banyak pertanyaan terkait lainnya yang bisa diajukan tetapi dicukupkan sampai di situ saja. Pasalnya, penulis bukan hendak menyoroti secara spesifik saber pungli melainkan mencoba mengangkat akar praktik pungutan liar di pelabuhan.

Masalah pungli di Tanjung Priok – juga di pelabuhan-pelabuhan utama lainnya di Indonesia – berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan. Pelabuhan adalah ladang bisnis yang sangat menggiurkan dengan jumlah perputaran uang yang luar biasa besarnya. ’Harta’ sebagus ini sayang dilewatkan begitu saja; ia perlu ‘dibagi rata’ di antara sesama instansi. Bahkan, preman pun, mulai dari yang berdasi rapi hingga yang hanya bersendal jepit dan berbaju seadanya, dapat jatah atau bisa mengambil jatah dari bisnis kepelabuhanan nasional.

Dari power sharing akhirnya menjadi profit sharing dan ini sudah berlangsung sejak lama, dari zaman kumpeni hingga republik berdiri. Memang, ada fungsi kepemerintahan di pelabuhan, namun karena orientasinya sudah ‘tahta dan harta’ akhirnya quarantine, immigration dan custom (QIC) lebih banyak mengedepankan filosofi ‘kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah’. Lihatlah kantor-kantor instansi QIC di pelabuhan, hampir semuanya berukuran besar. Seolah ingin mengatakan ‘saya adalah penguasa pelabuhan’.

Di sisi lain, ada badan usaha milik negara yang dikerangkeng hanya sebagai operator dan diposisikan untuk mencari duit sebanyak-banyaknya. Pada bagian yang lain terdapat regulator yang menjadi demangnya operator. Dualisme operator-regulator adalah fakta paling keras bagaimana power sharing dan profit sharing itu berlangsung di pelabuhan. Banyak yang bilang bahwa ketika zaman Orde Baru BUMN kepelabuhanan merangkap sebagai operator dan regulator sekaligus. Itu kurang tepat. Dengan pondasi kekuasaan seperti yang sudah diurai di muka, perusahaan negara pada akhirnya tetaplah operator. Status ini makin menguat dalam era reformasi sekarang.

Apa way out bagi masalah pungli yang membelit pelabuhan Tanjung Priok? Penulis menyarankan agar dirubuhkan dulu pondasi kekuasaan dan ekonomi yang ada di pelabuhan saat ini. Kalau tidak, jangan harap masalah tersebut akan tuntas hingga ke akarnya. Dari mana memulainya? Amandemen seluruh perundang-undangan yang memiliki muara dalam pelabuhan. Tujuannya untuk mengurangi pihak-pihak yang memiliki ‘gigi macan’ di pelabuhan.

Setelah itu, dirikan sebuah lembaga yang terintegrasi, tunggal dan berkuasa penuh di pelabuhan. Kepada badan inilah seluruh aktifitas quarantine, immigration, customs didelegasikan. Mohon dicatat, didelegasikan bukan dihilangkan. Instansi QIC tetap bisa masuk ke pelabuhan tetapi hanya untuk mengurusi kasus-kasus besar semisal penyelundupan dan wabah menular.

Di samping itu, badan itu juga merupakan badan usaha yang dapat menjalankan roda bisnis kepelabuhanan. Banyak contoh di dunia ini di mana regulator dan operator berada dalam satu kamar yang sama. Port of Rotterdam misalnya. Dikaitkan dengan revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo, barangkali inilah revolusi yang harus diselesaikan. Pelabuhan kita harus direvolusi, bukan direformasi karena selama ini reformasi itu tidak efektif.

Preman yang digulung oleh Polri karena pungli di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini hanya kelas teri. Jangan salfok, salah fokus.