Ingin Bangun MPP, Pemda Harus Keluar dari Zona Nyaman

AKM • Friday, 25 Jun 2021 - 10:41 WIB

Badung – Kehadiran Mal Pelayanan Publik (MPP) secara perlahan berhasil menggeser ‘jebakan’ zona nyaman yang selama ini melekat pada penyelenggara pelayanan publik. Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan, Kebijakan, dan Evaluasi Pelayanan Publik Wilayah I Kementerian PANRB Jeffrey Erlan Muller mengungkapkan, sebelum adanya MPP, pelayanan perizinan dan nonperizinan terpisah-pisah sehingga kerap kali masih terdapat ego sektoral. 

“Karena terpisah-pisah jadi ada zona nyaman yang kalau (sistemnya) diubah, mereka menjadi terganggu. Ini yang ingin kita hilangkan,” ungkap Jeffrey dalam kegiatan Studi Tiru Penyelenggaraan MPP Kabupaten Badung, di Badung, Bali, Kamis (24/06). 

Penyelenggaraan MPP memaksa penyelenggara pelayanan publik untuk mengubah kebiasaan kerja yang konvensional menuju digital. Selain itu, komitmen untuk memberikan yang terbaik dalam melayani masyarakat ( _excellence in service_ ) pun harus ditanamkan dengan kuat. Saat ini pemerintah daerah berlomba-lomba untuk membangun MPP sebagai pusat pelayanan modern terpadu di wilayahnya. Untuk itu Kementerian PANRB selaku instansi pembina pelayanan publik memfasilitasi pemda yang ingin membangun MPP, dengan melakukan studi tiru ke beberapa MPP percontohan. 

Sebelumnya, Kementerian PANRB telah memboyong Kota Tangerang dan Kota Tasikmalaya untuk studi tiru ke MPP Surakarta. Kali ini Kementerian PANRB memfasilitasi Kota Cimahi, Kota Tebing Tinggi, dan Kab. Manggarai Barat studi tiru ke MPP Badung. 

Jeffrey berharap agar peserta studi tiru tidak hanya terfokus pada gedung yang baru atau megah. Namun yang terpenting adalah praktik baik di berbagai aspek dalam pembentukan dan  penyelenggaraan MPP Badung. “Jangan melihat MPP yang sudah ada sekarang, tapi liat prosesnya. Bagaimana menyatukan sistem dan menyatukan spirit kerja diantara tenan-tenan yang ada,” ujar Jeffrey. 

Hal senada disampaikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kab. Badung I Made Agus Aryawan. Peningkatan kualitas pelayanan publik dimulai dari mindset dan paradigma SDM. Menurutnya, dua hal tersebut mudah diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. “Tidak mungkin Bapak/Ibu melakukan perubahan kalau SDM tidak berubah,” imbuh Agus. 

Reformasi pelayanan telah dilakukan MPP Badung dengan cara yang cukup menarik. Untuk mengubah _image_ pelayanan yang kaku dan tidak ramah, MPP Badung menggandeng lulusan baru perguruan tinggi dari berbagai bidang ilmu untuk menjadi sukarelawan ( _volunteer_ ). Mereka diberikan pelatihan dan dijadikan agen perubahan untuk menunjukkan Budaya Melayani 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan dan Santun). Transformasi layanan berbasis teknologi informasi (TI) pun dilakukan dengan merekrut lulusan TI untuk menggerakkan aplikasi Layanan Perizinan Online (Laperon).   

Ia memberikan catatan kepada para peserta studi tiru agar melakukan pemetaan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini bertujuan agar layanan yang diberikan memang menjawab kebutuhan masyarakat di daerahnya, mengingat kebutuhan masyarakat di setiap wilayah berbeda-beda. 

Ia juga berpesan agar pemda tidak menjadikan pembangunan MPP sekadar seremonial belaka. Menurutnya, ketika MPP sudah diluncurkan, artinya semua pelayanan harus sudah bisa berjalan dengan baik. Jika pelayanan tidak berjalan dengan baik, maka kepercayaan masyarakat akan hilang. “Tolong jangan _di-launching_ kalau belum siap. Jadi matangkan dulu kesiapan daripada dipaksa _di-launching_ tapi belum siap,” tukasnya. 

Salah satu peserta Studi Tiru MPP, Sekretaris Daerah Kota Tebing Tinggi Muhammad Dimiyathi, mengaku mendapat banyak masukan dan wawasan terkait praktik baik penyelenggaraan MPP dari Kab. Badung. Menurutnya, kehadiran MPP Kab. Badung merupakan komitmen dari Pemkab Badung untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya. 

“Kami akan jadikan MPP Kab. Badung ini menjadi ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Tidak mungkin sama persis karena kebutuhan setiap daerah berbeda,” pungkasnya.