Akibat Pandemi, Layanan Posyandu Menurun Drastis

ANP • Sunday, 27 Jun 2021 - 21:35 WIB

JAKARTA - Percepatan penurunan stunting di Indonesia bisa dilakukan dengan mengoptimalkan  layanan melalui posyandu. Sayangnya, kegiatan posyandu saat ini cenderung menurun karena pandemi Covid-19. Karenanya, sudah saatnya pemerintah menghadirkan posyandu virtual. 

Demikian benang merah kegiatan "Ekspose Data Capaian Gerakan Bulan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita Di Posyandu" yang diselenggarakan dalam rangkaian peringatan Hari Keluarga Nasional ke 28 Tahun 2021. 

Acara yang dipancarluaskan secara virtual oleh BKKBN pada Sabtu (26/6/2021) ini menyajikan sederet data tentang kegiatan layanan operasional posyandu sepanjang  awal Juni hingga 25 Juni 2021. 

Berdasarkan data yang diinput dalam aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), sepanjang bulan Juni jumlah balita yang menjadi sasaran sebanyak  17.961.425 balita. 

Adapun balita yang mendapatkan layanan pengukuran  berat badan, seperti disampaikan Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN, Safrina Salim, mencapai 1.318.574 balita. Sementara yang diukur tinggi badannya 1.236.557 balita. 

Tercatat, ada 43.540 posyandu yang membuka layanan sepanjang periode tersebut, atau 22,17 persen dari total 256.879 posyandu yang ada secara nasional. 

Juga diperoleh data, lima provinsi yang membuka layanan posyandu di periode Juni dengan persentase tertinggi, yakni Riau 45 persen, Sulawesi Barat  36,67 persen, Sulawesi Tengah 35,91 persen, Bangka Belitung 35,59 persen, dan Aceh 35,13 persen. 

Adapun lima provinsi terendah dalam membuka kegiatan layanan posyandu adalah Jawa Timur 1,9 persen, DKI Jakarta 7,72 persen, NTB 9,61 persen, Bali 9,68 persen, Papua 10,40 persen. 

Menyikapi hasil data tersebut, Kepala BKKBN, dr Hasto Wardoyo, dalam sambutan pembukaan, mengatakan bahwa posyandu memiliki kontribusi positif terhadap penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan bayi serta angka prevalensi stunting di tengah pandemi Covid-19. 

Berdasarkan data yang ada, angka prevalensi stunting sebesar 27,6 persen. Ini adalah angka sebelum pandemi Covid-19 menerjang Indonesia. Kini, para ahli memproyeksikan angka stunting bisa mencapai 32,5 persen menyusul angka  kemiskinan yang naik tipis, dan anak-anak dalam kondisi kurus yang diperkirakan jumlahnya meningkat sebanyak 2 juta anak di Indonesia. 

"Kondisi ini akan berujung pada stunting. Stunting bersumber dari 'suboptimal health'," terang Hasto, yang juga memproyeksikan kasus stunting bakal meningkat di periode 2020-2021. "Menjadi beban besar untuk mencapai target 14 persen kasus stunting di 2024," ujar Hasto. 

Kegalauan Hasto berjalan paralel dengan layanan posyandu yang sebagian besar terhenti beroperasi akibat adanya pandemi. Padahal sebanyak sekitar 23 juta balita membutuhkan layanan posyandu secara rutin.  

Menganalisa data yang ada di e-PPGBM, Hasto menjelaskan bahwa layanan yang diberikan Posyandu di sepanjang Juni 2021 hanya menyentuh 6 persen atau 1,3 juta balita dari 23 juta balita yang ada. "Ketika kita ingin menyimpulkan berapa persen balita yang stunting, data itu masih jauh dari keterwakilan," paparnya. 

Ini berarti, demikian Hasto, cakupan layanan posyandu untuk penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita  setiap bulan masih rendah. "Ini menjadi keprihatinan kita bersama," tandas Hasto Wardoyo. 

Untuk itu, Hasto menyatakan pihaknya akan mendukung program ini bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, PKK dan institusi terkait. "Kami berharap melalui (program) pendampingan keluarga akan bisa  ditingkatkan partisipasi masyarakat datang ke posyandu," tutur Hasto. 

Menghadapi situasi ini, Hasto mengajak masyarakat untuk tiada henti melakukan sosialisasi, dengan tujuan melakukan perubahan mindsite masyarakat. "Sesungguhnya kemampuan alam di sekitar keluarga cukup. Makanan lokal cukup. Tapi pola pikir dalam rangka menyusun pola makan untuk memenuhi gizi seimbang yang kurang," ucapnya. 

Hasto mengatakan kemiskinan masih ada di bumi Indonesia. Namun dari hasil pengamatannya sebagai Bupati Kulon Progo (DI Yogyakarta) dua periode, Hasto mendapati bahwa biaya untuk pembelian rokok oleh keluarga dalam setahun bisa mencapai 1,4 miliar. "Dari 1000 laki-laki, 480 adalah perokok. Mereka menghabiskan kira-kira Rp 400.000 per orang per bulan," papar Hasto. 

Ini berarti dana atau kapital yang ada beredar di desa miskin sesungguhnya ada. Maka, sudah seharusnya ada upaya keras dari pemerintah dan elemen masyarakat  untuk membantu mendorong terjadinya perubahan pola pikir di masyarakat. "Kalau negara lakukan reformasi, termasuk reformasi birokrasi, masyarakat harus melakukannya juga, melakukan revolusi mental untuk membeli makanan bergizi demi mencegah kasus stunting," ajak Hasto. 

Hasto mengatakan setidaknya dalam satu tahun terdapat 1,4 juta kehamilan, sebanyak 480.000 di antaranya terindikasi stunting. "Kalau bisa kita hadang. Jangan sampai stunting. Untuk itu, ibu hamil hemoglobinnya harus  normal. Calon ibu  tidak kurang gizi. Penting pemberian tablet tambah darah, asam folat," ujarnya. 

Menurut Hasto, kondisi itu bisa dilakukan tiga bulan sebelum pernikahan. "Bagaimana sistem informasi ini kita bangun lebih masif. Kita usulkan buat sistem "menghadang" orang yang mau nikah. Artinya, tiga bulan sebelum nikah mereka melapor status nutrisinya. Bila belum penuhi syarat, pakai kondom," jelas Hasto. 

Penegasan Hasto itu berangkat dari temuan bahwa 22,6 persen bayi dilahirkan panjangnya kurang dari seharusnya. Pada  1000 hari kehidupan pertama, 37 persen bayi panjang badannya tidak sesuai umur. Dan data Riskesdas 2018 juga menunjukkan sebesar 29,5 persen bayi lahir prematur. 

"Kalau itu bisa kita hadang dengan baik, kita bisa berkontribusi terhadap percepatan penurunan stunting," tandas Hasto dalam acara yang juga dihadiri perwakilan TP PKK Pusat.  

Untuk itu, salah satu program percepatan penurunan stunting yang dikembangkan BKKBN adalah pendampingan keluarga. Salah satu tugas pendampingan adalah membangun kesadaran bahwa jauhi menikah muda. 

Kawin muda atau hamil di bawah usia 20 tahun, menurut Hasto,  memprihatinkan. Mereka tidak mengerti bahwa usia 17 tahun tulang berhenti tumbuh saat ibu hamil. Karena kalsium diambil bayi. Akibatnya, puncak kepadatan tulang tidak tercapai. Panjang badan ibu menjadi tidak maksimal. Tulang keropos lebih cepat saat umur 50 tahun. 

Yang juga harus diwaspadai, di saat usia 16 tahun, mulut rahim menghadap keluar. Bila tersentuh kelamin laki-laki, maka  15 tahun sampai 20 tahun kemudian akan menjadi kanker. 

"Informasi ini perlu disampaikan kepada  remaja setingkat SMP, agar mereka berpikir untuk tidak menikah di usia  belasan tahun, atau melakukan hubungan seks pra nikah. Mereka butuh pemahaman untuk tidak nikah di usia dini," tambah Hasto. 

• Posyandu Virtual 

Di bagian lain penjelasannya, Hasto mengakui bahwa banyak masyarakat dari golongan  menengah ke atas tidak membawa anak mereka ke posyandu. 

"Solusinya, posyandu virtual sudah saatnya diadakan, di bawah pengelolaan Kementerian Dalam Negeri. Posyandu virtual ini akan menjawab agar semua keluarga yang memiliki balita bisa tercover. Termasuk di situasi pandemi saat ini," ujar Hasto menyodorkan usulan. 

Usulan itu mendapat apresiasi Dirjen Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri, Yusharto Huntoyungo. "Setuju, kita akan kembangkan dan integrasikan dengan e-posyandu. Kita akan laksanakan ini, seperti alat timbangan yang harus dikalibrasi," jelas Yusharto. 

Berdasarkan aplikasi e-posyandu, saat ini terdapat 617 posyandu di 74.761 desa. Di setiap desa ada lebih satu posyandu. Berdasarkan klasifikasinya, terdapat 36 persen Posyandu Pratama, 18 persen Madya, 20 persen Purnama, dan 18 persen Posyandu Mandiri. 

Sementara Sekretaris Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes, Kartini Rustandi mengatakan, berdasarkan data e-PPGBM, Februari merupakan capaian layanan tertinggi posyandu, mencapai 17 juta balita. Ini karena Februari merupakan Bulan Vitamin A. Bulan berikut di April dan Mei turun menjadi sekitar 3-4 juta balita. 

Pada Juni, jumlah balita yang dilayani posyandu berkurang drastis. Hanya sekitar 1,3 juta balita.  Hal ini karena  banyak daerah berada pada Zona Oranye dan Merah Covid-19. Pemerintah melarang  ada kegiatan pelayanan. 

"Untuk Zona Hijau ada pelayanan tapi dari rumah ke rumah. Itu pun dibatasi jumlah kunjungannya. Tidak boleh lebih dari 10 balita. Jadi, tidak semua balita terlayani," jelas Kartini dalam acara yang dipandu presenter Lula Kamal. 

Sementara itu, Manager CSR Astra, Wioko Yudhantara menjelaskan saat ini Astra Grup membina 2400 posyandu di 34 provinsi. "Astra ingin menjadi pohon rindang bagi sesama, dan posyandu menjadi ujung tombak untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan  keluarga," ujar Wioko, seraya menambahkan bahwa Astra juga memiliki  Sekolah Keluarga, diperuntukan  bagi keluarga yang memiliki balita. 

Adapun psikolog Samanta Elsener berharap influencer diajak berkolaborasi dalam program ini. "Kita harus jemput bola, rangkul satu per satu. Profiling individu, kemudian dikelompokkan menjadi klaster-klaster, komunitas-komunitas. Inilah yang perlu kita lakukan. (Sosialisasi) dengan mengulang-ulang itu penting," jelasnya. 

Menjelang akhir acara dilakukan kunjungan virtual ke delapan posyandu. Mulai dari NTB, Riau, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali hingga Kalimantan Timur. Dialog berlangsung antara pengelola posyandu dan narasumber. (ANP)